Kamis, 11 November 2010

Ensiklopedi - Hajji

Secara bahasa berarti; bermaksud, datang, ziarah
Menurut Syara': Hajji ialah Datang ke Mekkah untuk melaksanakan perintah Allah pada waktu tertentu dan melaksanakan rangkaian ibadah (Ihram, Thawaf, Sa'i, Mabit dan melontar jumrah di Mina), untuk mengharapkan redha Allah.

Hajji merupakan rukun Islam yang kelima, wajib dilakukan setiap ummat Islam yang mampu mencapainya (ada isthitho'ah), sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Ali Imran ayat 97: "......Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah....."


Istitho'ah artinya mampu mencapainya, maksud mampu disini dalam segi 1. Berbadan sehat, 2. Perbekalan dan kebutuhan, 3. Keamanan jalan dan tempat, 4. Ada kendaraan, 5. Mendapat kesempatan/jatah kuota yang disepakati oleh negara Islam, setiap satu juta penduduk quotanya seribu orang.

Bulan hajji itu adalah Syawal, Zulkaedah, dan Zulhijjah, artinya orang sudah boleh berangkat ke Mekkah pada bulan-bulan tersebut dengan tujuan ibadah hajji. Adapun pelaksanaan rangkaian ibadah hajji setelah datang ke Mekkah 9 Zulhijjah sampai dengan 13 Zulhijjah atau 12 Zulhijjah bagi orang yang ingin segera dengan cara nafar awal (cukup bermalam di Mina 2 malam saja).

Allah dan Rosulnya menjanjikan sesuatu yang sangat menggembirakan bagi orang yang mendapat hajji yang Mabrur, disamping itu ibadah hajji mempunyai nilai yang sangat baik dan positif untuk kehidupan ummat manusia di dunia apalagi untuk alam akhirat.


Keutamaan Ibadah Hajji
"Dari Abi Hurairah yang diredhai Allah dia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW; "Barang siapa yang mengerjakan hajji maka dia tidak berbuat keji dan tidak berbuat fasiq maka dia akan kembali bagaikan dia baru dilahirka ibunya (Tidak ada dosa)." (HR. Bukhari dan Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Langkanya orang yang jujur dan amanah

Mencari orang yang jujur dan amanah di negeri ini sudah sangat sulit. Orang yang jujur dan amanah sekarang sudah langka. Sebagian pemimpin kita sudah tidak lagi amanah. Mereka seenaknya menggunakan fasilitas yang disediakan negara untuk kepentingan pribadi.

Coba kita renungkan suatu peristiwa yang sangat mengharukan, yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu hari, di saat sang khalifah sedang merampungkan tugas-tugas kenegaraan, secara tiba-tiba masuklah seorang putra kesayangannya. Dengan sikapnya yang ramah, ditatapnya putra kesayangannya itu seraya menyapa, "Ada apa wahai anakku." "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, ayahku," jawab anaknya. "Apakah urusan kenegaraan?" sergah sang khalifah. "Tidak, wahai ayahku. Hanya urusan keluarga," kata anaknya lagi.

Setelah kalimat jawaban dari sang anak itu, serta merta sang khalifah bergegas menuju ke suatu tempat sambil mematikan lampu. Maka gelap gulitalah ruangan tersebut. Dengan terheran-heran, anak kesayangannya itu bertanya; "Wahai ayah, apakah gerangan yang terjadi? Bukankah sebaiknya kita berbicara di bawah cahaya lampu yang terang seperti tadi?"

Dengan sangat santun, sang khalifah menjawab; "Lampu yang ayah pakai tadi adalah inventaris negara, sedangkan yang akan kita bicarakan adalah urusan keluarga." Tak lama kemudian, khalifah memanggil pelayannya dan menyuruh membawakan lampu dari ruang dalam. Setelah lampu itu tiba di hadapan khalifah, ia pun berkata; "Nah sekarang lampu yang menyala ini adalah milik kita pribadi, dan minyaknya dibeli dari uang pribadi."

Inilah potret seorang pemimpin yang menjunjung tinggi nilai amanah. Ia tidak mau mencampur-baurkan antara urusan negara dengan urusan pribadi atau keluarga. Ia tidak mau memanfaatkan milik negara untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Karena ia menyadari, bahwa ia bisa jadi pemimpin karena diberi kepercayaan oleh rakyat, dan itu merupakan amanah yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran.

Seorang pemimpin harus berlaku adil, karena adil itu juga merupakan amanah. Perlakukan adil itu berlaku terhadap semua orang. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda; "Andaikata putriku sendiri Fatimah yang mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya."

Kejujuran dan keadilan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Berat memang untuk mengaplikasikan kejujuran dan keadilan tersebut. Lebih-lebih di zaman yang penuh dengan berbagai godaan serta rayuan "keduniaan" yang semakin marak, yang membuat iman seseorang jadi goyang. Tak terkecuali mereka yang ditakdirkan Allah untuk jadi pemimpin, pejabat, wakil rakyat, dan lain sebagainya.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Janji harus ditepati

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman); Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Mengucapkan janji mudah, tetapi menepati janji sulit. Apalagi kalau pemimpin mengucapkan janji yang muluk-muluk dihadapan masyarakat. Padahal janji itu hanya sekedar penghias bibir.

Suatu hari Khalifah Umar bin Khattab membuat pernyataan yang ditulis di atas sepotong kulit. Pernyataan itu adalah untuk membayarkan uang sebanyak 25 dinar kepada seorang nenek tua, karena ia tidak sempat lagi memenuhi janjinya kepada nenek itu.

Penulisan surat pernyataan itu disaksikan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah karena Umar memaklumi benar bagaimana pentingnya menepati janji. Dalam catatan sejarah dinyatakan; bahwa pernyataan yang ditulis diatas kulit itu kemudian diberikan kepada anaknya. Kepada anaknya itu Umar berkata; "Bila nanti aku meninggal, masukkan pernyataan itu dalam kafanku, untuk aku bawa menghadap Allah nanti."

Janji dalam agama Islam merupakan masalah yang serius dan harus ditepati. Lebih-lebih janji kepada Allah SWT.

Di dalam Al Qur'an janji itu disebut 'Ahdi dan Wa'd. Dalam pemakaian kedua kata tersebut ada ketentuan-ketentuannya. Sebab janji itu bukan saja terbatas antara sesama manusia, tetapi juga janji antara manusia dan Allah. Orang yang berjanji disebut "Mu'ahadah".

Seorang muslim yang beriman, telah berjanji sejak ia berada dalam kandungan rahim ibunya. Ketika Allah meniupkan roh kepada janin yang dikandung ibunya Allah bertanya; "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Itulah janji pertama manusia terhadap Khaliqnya. Setelah lahir ke dunia, orang tua Si Bayi akan membisikkan ke telinganya "kalimatun thoyiiba" seperti dua kalimat syahadat (syahadatain); "Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah pesuruh-Nya".

Bagi seorang muslim yang beriman, janji dua kalimat syahadat ini paling tidak diucapkan 17 kali sehari, yakni dalam shalatnya yang lima waktu.

Dalam memelihara "Aqidah" (keimanan dan ketakwaan kepada Allah) maka seorang muslim harus selalu mengingat janji-janji tersebut (Bermu'ahadah). Jika kita ingat dengan janji-janji kita itu, tentu kita tidak akan mau mempersyaratkan Allah, kita akan selalu ta'at menjalankan perintah Allah, dan selalu menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak diredhai Allah (bermaksiat).

Banyak orang mengaku beragama Islam, tapi mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah dan mereka lupa dengan Allah, lupa shalat, lupa berzakat dan lain sebagainya. Penyebabnya tidak lain karena ia lupa dengan janjinya kepada Allah. Ia orang yang tidak menepati janji.

Apabila orang telah menepati janjinya kepada Allah ia akan selalu ta'at melaksanakan perintah Allah, dan selalu meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah. Kecuali itu, ia juga akan menepati janjinya kepada sesama manusia.

Penipu
Jika kita mencermati umat Islam di tanah air kita ini, maka mereka mudah sekali mengucapkan janji, tetapi sedikit sekali yang mau menepati janji. Coba lihat beberapa pejabat kita yang begitu bersemangat serta mantap dalam mengucapkan janji ketika mereka dilantik. Begitu pula dengan wakil-wakil rakyat kita dalam mengucapkan janji sebelum menduduki kursi empuk di DPR/DPRD. Setelah jadi wakil rakyat, mereka lupa dengan janji serta sumpah yang mereka ucapkan.

Dalam masa kampanye, para calon Presiden dan wakil presiden selalu mengumbar janji yang muluk-muluk kepada rakyat. Ada yang menjanjikan lapangan kerja yang banyak bila mereka terpilih nanti.

Ada pula yang akan meringankan biaya pendidikan bagi anak-anak sampai ke tingkat SMA. Mereka berjanji akan mengikis habis segala bentuk korupsi, penyelewengan, dan lain sebagainya. Para Capres dan Wacapres kita berjanji akan berlaku supremasi hukum. Pendek kata mereka semua mengumbar janji yang muluk-muluk.

Janji hanya tinggal janji, tapi nyatanya mereka lupa dengan janji mereka.

Pemimpin yang dapat dipercaya, adalah pemimpin-pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang dihargai oleh rakyat adalah pemimpin yang tidak mengkir janji. Orang menyatakan; "Janji adalah utang, dan utang harus dibayar". Orang yang tidak menepati janji adalah penipu.


Penulis : Ibnu Syairy.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - agama

Agama berasal dari bahasa Sangsekerta, terdiri dari dua kata A = tidak, gama = pergi, agama artinya: pegangan ke arah kekekalan. Pengertian lain Agama = tidak kacau (A = Tidak, Gama = Kacau) agma juga diartikan Teks atau kitab suci, dengan demikian diantara definisi agama ialah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.

Definisi lain Ajaran yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution). Dalam Al Qur'an dan Hadist pengertian agama mempergunakan kata AD-DIIN, Ad diin menurut bahasa berarti Patuh, tunduk, hari akhirat, balasan, undang-undang(syari'ah). Pengarang Mu'jamul wasith mengartikan ad-Diin :
1. Ad-Diin ialah nama untuk semua pengabdian/ibadah kepada Allah.
2. Ad-Diin ialah Keyakinan yang tertanam dalam hati dan ikrar dengan lidah dan diamalkan dengan anggota.

Pengertian Ad-Diin menurut Keputusan Tarjih Muhammadiyah HPT 276 :
1. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
2. Agama yang diisyari'atkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya berupa perintah-perintah, larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.

"Sesungguhnya agama(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam". Penggunaan Ad-Diin untuk Islam lebih tepat dan baik dari kata-kata agama dengan sebutan Ad-Dinul Islam.


Orang Beriman Bagaikan Tubuh Manusia
"Dari Nu'man bin Basyir yang diredhai Allah keduanya dia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW;"Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang mereka dan hubungan baik antara mereka seperti tubuh, apabila ada bagiannya terganggu(sakit), maka seluruh tubuh akan merasakan terganggu dan merasa sakit." (HR. Bukhari Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Adab bertamu

Mencermati perilaku para remaja kita saat ini, kita jadi prihatin. Ada petunjuk, sebagian besar mereka sudah jauh dari sopan santun, yang berimbas kepada sirnanya rasa kekerabatan serta hilangnya rasa silaturrahim.

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan interaksi antar personal. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terbentuknya hubungan kekerabatan dilanjutkan dengan silaturahmi dan aktivitas lainnya yang mendekatkan hubungan.

Salah satu aktivitas sosial yang sering kita lakukan adalah bertamu ke rumah saudara, kerabat atau teman kita. Islam sebagai agama yang syamil dan mutakamil mengatur adab umat Islam dalam bertamu.

Berikut beberapa aturan-aturan dalam Islam tentang perihal bertamu:
Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah, juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.

Tidak mengintip melalui jendela.
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
Dari Anas bin Malik, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip sebagian kamar Nabi, lalu Nabi berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang untuk menusuk orang itu."
Hadist ini menunjukkan ancaman yang keras untuk orang yang mengintip dan melihat orang yang berada di rumahnya tanpa memperoleh izin sebelumnya.

Tidak masuk rumah walaupun terbuka pintunya.
Dari ayat 27 An Nur, kta baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.

Minta izin maksimal tiga kali.
Tamu yang hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Said Al-Khudri ia berkata,"Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya,"Mengapa kamu kembali?" Dia menjawab, "Saya mendengar Rasulullah bersabda;"Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali."

Tidak menghadap ke arah pintu masuk.
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri.

Hendaknya menyebut nama yang jelas.
Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban"Saya(sebutkan nama)" atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.

Wallahalam bishawab.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Sombong sifat syaithoniyah

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan setinggi gunung." (QS. Al Israa : 37)

Sombong merupakan sifat yang melekat erat pada makhluk yang bernama syaithon/iblis. Dengan sifat itu ia menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Nabi Adam. Si Iblis merasa dirinya adalah lebih baik dari Adam ditinjau dari unsur penciptaannya. Dan karena sifat itulah makhluk laknatullah itu terusir dari surga serta terancam siksa jahannam selamanya.

Dan sekian banyak jenis sifat mazmunah yang ada dalam hati manusia, ternyata sombong adalah salah satu sifat yang dominan disamping sifat iri dan hasut. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya lebih dari orang lain dalam satu atau banyak hal, maka itu termasuk sombong, kecil besarnya perasaan itu muncul dalam hati hanya individu itu yang tahu. Namun dalam kasat mata prilaku sombong dapat diamati terutama dalam pembicaraan/tutur kata seseorang.

Ada seseorang yang ketika berbicara, suka menonjolkan kelebihan-kelebihan dirinya pada orang lain, karena ia merasa telah berhasil dalam sesuatu pekerjaan(jabatan) atau meraih keberhasilan secara ekonomi. Yang aneh tanpa diminta pun ia akan menceritakan kelebihan-kelebihannya pada orang lain. Orang sombong seringkali melihat orang lain tidak seperti dirinya. Ketika orang lain menggantikan jabatannya, maka yang keluar dari lisannya adalah cemoohan dan selalu membandingkan dengan keberhasilan dirinya pada periode sebelumnya. Semua kebijakan yang dilakukan pejabat baru selalu dikritik dan tidak mendapat apresiasi yang membanggakan darinya.

Dibagian lain, ada orang sombong yang selalu menceritakan kekayaan atau keberhasilannya, anak-anaknya dalam segi materi. Ia selalu mempertontonkan kemampuannya untuk memberi barang-barang mewah, mengadakan acara dengan mengeluarkan uang puluhan juta. Ketika tidak ada orang yang menyaksikan di saat ia membeli barang-barang mewah itu, maka ia akan memperbincangkannya dalam setiap pertemuan. Yang aneh lagi bahwa orang-orang semacam ini selalu bercerita kepada mereka yang tidak selevel dengan dirinya. Pernahkah mereka membayangkan sakitnya/ciutnya hati si miskin ketika mendengarkan itu semua.

Bukan tidak mungkin, mereka yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari orang-orang yang berwatak sombong, kemudian berpikir negative, umpamanya: alangkah tidak enaknya menjadi orang miskin, dan mana si sombong memperoleh hartanya(menduga-duga), Allah SWT tidak adil, apa yang dilakukan untuk mendapatkan kekayaan dan seribu satu macam pikiran yang dapat menggiringnya pada kesesatan/kemusyrikan.

Pada saat dimana mereka berada dilingkungan orang-orang yang lebih berhasil atau berpunya dari dirinya, maka dengan sendirinya sifat sombong itu memudar berganti dengan sifat rendah diri, sebagaimana orang tidak punya berhadapan dengan dirinya. Kalau sifat sombong tertanam begitu kuat dalam diri seseorang, maka keberadaannya ditengah orang-orang berpangkat atau kaya akan semakin meningkatkan kadar kesombongannya, ia berpikir bahwa tidak semua orang seperti dirinya yang mempunyai teman atau relasi orang-orang berpangkat serta kaya.

Seseorang yang taat menjalankan ibadah sekalipun, kalau tidak hati-hati akan terjerumus dalam sifat ini. Karena tingginya kualitas dan kuantitas ibadahnya, maka ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling alim dari kebanyakan manusia. Ia adalah orang yang paling baik, taat dalam menjalankan perintah Allah SWT, dan jauh dari kesalahan-kesalahan. Disadari atau tidak, sifat demikian sesungguhnya bagian dari sifat sombong.

Ayat diatas merupakan cerminan bahwa perilaku sombong tidak pantas dimiliki oleh manusia yang dhoif. Kalimat "Tidak dapat menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung" pada ayat di atas menggambarkan bahwa ada keterbatasan manusia dalam segala hal, dan ini menunjukkan kelemahan manusia. Patutkah sifat sombong dimiliki oleh makhluk yang banyak kelemahan, seharusnya kesombongan hanya menjadi milik zat yang menguasai kehidupan dan segala sesuatunya.

Belajar dari seekor burung merak, yang ketika tidak ada yang memperhatikannya, maka sayapnya yang indah terkatup rapat, sungguh berbeda ketika banyak pengunjung yang memperhatikannya, maka gemerlap keindahan bulu sayapnya terkembang. Alangkah indahnya jika ketika kita memiliki kelebihan dalam banyak hal, mulut kita menutup rapat dan keinginan untuk membangga-banggakan diri. Walaupun lisan diam, ketika kita berhasil dalam sesuatu/banyak hal maka masyarakat akan tahu dengan keberhasilan kita itu, dan mereka yang patut menilainya. Itulah indahnya diam.


Penulis : MR. Sholihin.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Ijtihad

Ijtihad artinya bersungguh-sungguh, rajin.

Menurut Syara' : ijtihad ialah kesungguhan menentukan hukum syara' tentang hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al Qur'an dan Sunnah secara pengertian langsung.

Ulama yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Ijtihad adalah alat menentukan hukum, bukan sumber hukum, tetapi hasil ijtihad bisa menjadi sumber hukum Islam.

Ijtihad hanya dilakukan untuk menetapkan perkara-perkara yang tidak diterangkan Al Qur'an dan Hadits secara jelas, seperti zakat profesi, hukum zakat beras, hukum budi daya katak hijau, zakat hasil perkebunan karet, kopi, kelapa sawit dan lain-lain. Diantara Hadits yang menjelaskan tentang Ijtihad sebagai alat menentukan hukum yang artinya; "Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah, lalu Rasulullah SAW bertanya; Bagaimana cara kamu memutuskan perkara? Muadz menjawab; Aku putuskan dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah. Jika tidak engkau temui? Dia menjawab; Maka aku putuskan perkara dengan sunnah Rasulullah SAW, jika kamu tidak ketemu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah? Jawab Muadz; Aku berijtihad dengan pikiranku, lalu Rasulullah SAW berkata; Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah."

Ijtihad dilakukan oleh ulama yang tafaqquh fidiin (mendalami ilmu agama) dengan syarat-syarat tertentu diantaranya : memahami Al Qur'an dan Hadits, mengetahui hasil ijma' para sahabat Nabi, mendalami bahasa Arab, faham tentang ushul fiqih serta punya ilmu tentang nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Ulama berbeda pendapat tentang Ijtihad dan persyaratan orang yang boleh berijtihad.


Tidak Boleh Mempersulit Agama
"Dari Abu Hurairah yang diredhai Allah dari Nabi SAW, dia berkata; Sesungguhnya agama (Diinul Islam) itu mudah, seseorang yang mempersulit agama (Diinul Islam) akan mengalahkannya (menyusahkannya) maka berlaku benarlah, dan dekatkanlah diri kepada Allah, dan gembirakanlah dan minta tolonglah padi dan sore dan pada sebagian kegelapan malam." (HR. Bukhari).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 39 Tahun Ke-14 29 Syawal 1431 H / 8 Oktobe 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Pentingnya ilmu pengetahuan (2)

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadilah :


Untuk mencapai kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak, seorang muslim harus memiliki ilmu pengetahuan. Untuk memiliki ilmu bisa melalui pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, atau kursus. Dan bisa juga dengan informal, seperti mendengarkan ceramah atau dengan membaca buku (otodidak).

Bagi seorang muslim ada keharusan untuk belajar pengetahuan umum dan juga pengetahuan tentang agama (Islam). Banyak ilmu yang harus dikuasai, ada ilmu untuk berdagang, berusaha. Ada ilmu untuk diajarkan lagi kepada masyarakat. Dan ada ilmu untuk mencapai kedudukan, baik di pemerintahan maupun di institusi-institusi lainnya. Namun ilmu tentang agama tidak boleh dilupakan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) harus disandingkan dengan ilmu untuk menguatkan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) kepada Allah SWT.

Para pengusaha berhasil dengan usahanya adalah dengan ilmu. Mereka yang ditakdirkan Allah jadi penyelenggara negara, karena mereka punya ilmu. Di dalam beragama kita juga harus memiliki ilmu, sehingga ibadah-ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ikut-ikutan. Mereka yang tidak memiliki ilmu agama, ia akan beribadah yang menjurus kepada bid'ah (mengada-ada).

Rasulullah SAW dalam beberapa hadits mengingatkan kita akan pentingnya ilmu pengetahuan, misalnya : "Tuntutlah ilmu itu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Artinya tidak ada kata berhenti untuk menuntut ilmu, selama hayat di kandung badan.

"Apabila mati anak Adam, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga; pertama, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat yang ditinggalkannya, dan anak yang shaleh yang mendo'akannya."

Mereka yang berilmu, dan diajarkannya ilmu itu kepada orang lain. Maka apabila ia meninggal, kemudian ilmu itu diajarkan lagi kepada orang lainnya, maka syafa'atnya akan sampai kepada yang meninggal.

Ada kata bijak yang sering juga diucapkan oleh para ulama dan para juru dakwah (Da'i) berbunyi : "Untuk dapat mencapai kehidupan yang bahagia di dunia, harus dengan ilmu. Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat harus dengan ilmu. Untuk mencapai kedua-duanya juga harus dengan ilmu."


Penulis : Prof. Dr. H. Eddy Mart Salim, SPd, KAI.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 39 Tahun Ke-14 29 Syawal 1431 H / 8 Oktobe 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Kamis, 21 Oktober 2010

Bekal bagi calon haji

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh "rafats", berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji..." (QS. Al Baqarah : 197)

Minat umat Islam di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji meningkat luar biasa. Setiap tahun barisan yang menunggu giliran berangkat (waiting list) semakin panjang. Hal itu dirasakan di daerah ini (Sumatera Selatan). Quota untuk SumSel hanya 6500 orang. Tapi yang mendaftar setiap tahun dua kali lipat dari quota. Yang mendaftar tahun 2009, baru bisa berangkat tahun 2015. Alhamdulillah, tahun ini jamaah calon haji (JCH) Sumsel yang berangkat berjumlah 61356 orang. Insya Allah, keberangkatan di mulai 11 Oktober 2010 dari embarkasi Palembang bersama JCH dari Bangka Belitung (Babel).

Setiap kali melakukan perjalanan tentu perlu menyiapkan bekal baik fisik maupun mental. Demikian pula jika kita pergi menunaikan ibadah haji. Apalagi tempatnya jauh dan suasana selama kita berada di tanah suci jauh berbeda dengan suasana di tanah air terutama iklimnya. Bagi seorang JCH diperlukan berbagai persiapan dan bekal selama di tanah suci. Karena ibadah yang satu ini banyak menggunakan fisik, maka setiap jemaah perlu menjaga dan memelihara kesehatan fisiknya. Sebelum berangkat selalulah berkonsultasi dengan dokter jika kita mungkin mengidap suatu penyakit agar saat kita berangkat, kesehatan kita betul-betul dalam kondisi prima.

Selain mempersiapkan bekal fisik, juga tak kalah pentingnya bekal mental spiritual. Sebelum berangkat bekal utama adalah niat. Kunci diterimanya suatu ibadah oleh Allah SWT tergantung pada niat. "Sesungguhnya setiap amal itu dengan niat." (Al Hadits). Berangkat menunaikan ibadah haji harus dengan niat yang lurus yakni karena Allah semata, tidak karena yang lain. Bukan untuk legitimasi diri atau segan dengan tetangga, teman sekantor atau kebanggaan agar dipanggil orang dengan gelaran haji.

Setelah niat kita lurus, maka bekal berikutnya adalah hati yang suci. Sebelum berangkat sucikanlah hati. Kalau rasanya kita berdosa kepada Allah SWT, maka bertobatlah dengan taubatan nasuha yakni menyesali perbuatan jelek kita dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kemudian sucikan hati dengan masyarakat, tetangga, orang tua, sahabat dan lainnya. Bermaaf-maafanlah sebelum berangkat. Hilangkan segala perasaan yang tidak baik sepeti dendam, iri, dengki, angkuh dan sombong. Pendek kata, karena kita mau pergi ke tanah suci dan jadi tamu Allah (dhuyuu furrahman), sucikan pulalah hati kita.

Bekal utama berikutnya adalah ilmu manasik haji agar benar-benar dipahami. Tentu sebagian jamaah kita telah mengikuti bimbingan manasik haji di beberapa KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Amalkanlah ilmu yang sudah di dapat selama bimbingan itu. Di tanah suci para JCH kita akan menemui beragam orang dari seluruh dunia. Dalam beribadah mereka juga beragam cara. Bagi JCH kita tak usah ikut-ikutan. Beribadahlah sebagaimana yang telah diajarkan para pembimbing selama dalam bimbingan manasik haji di tanah air.

Para jemaah juga akan menyaksikan orang-orang yang berbuat menjurus ke syirik. Misalnya, mengelus-elus Ka'bah dengan kain syal. Lalu kain itu disapukan ketubuhnya. Ada yang meratap di dinding Ka'bah. Ada pula yang berebut, saling sikut agar dapat mencium Hajarul Aswad sehingga ada yang terluka, keseleo dan kehilangan barang berharga. Padahal mencium Hajarul Aswad itu hukumnya sunnat. Bahkan ada yang sampai menggunting Kiswah (Kain pembungkus Ka'bah) yang konon mau dijadikan jimat dan lain sebagainya.

Hindarilah segala perbuatan yang berbau bid'ah atau ibadah-ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Demikianlah beberapa hal yang menjadi bekal utama para JCH. Kesemuanya ini merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Jadi bekal utama seorang JCH adalah takwa sebagaimana firman-Nya : "Berbekallah, maka sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al Baqarah : 197). Ciri utama orang yang bertakwa adalah melaksanakan segala perintah-Nya. Selamat jalan para tamu Allah, semoga mendapat Haji Mabrur. Amin.


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 39 Tahun Ke-14 29 Syawal 1431 H / 8 Oktobe 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Zakat Fitrah

"Dari Ibnu Abbas yang diredhai Allah, dia berkata; Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berguna membersihkan nilai shiyam (puasa) dari kata omong kosong dan keji serta untuk makanan orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Idul Fitri maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat id maka dia akan menjadi salah satu dari bentuk sadaqah." (HR. Ibnu Majah - hadits hasan).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 35 Tahun Ke-14 24 Ramadhan 1431 H / 3 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel). Selengkapnya...

Tiga pilar penentu keridhaan Allah

Dalam mengarungi kehidupan di dunia yang fana ini, berbagai macam kegiatan dilakukan manusia baik untuk memenuhi kebutuhan jasmani maupun kehidupan ruhaniahnya, dan ibadah yang dilaksanakan sebagai suatu kewajiban pokok secara rutin, dengan harapan akan mendapat keridhaan dari Allah.

Keridhaan Allah atas ibadah yang kita kerjakan sangat ditentukan oleh tiga pilar utama ibadah yang benar. Pilar pertama : Al Hubb artinya cinta, bahwa semestinya ibadah yang dikerjakan karena rasa cinta seorang hamba terhadap pencipta dan pemberi berbagai macam rahmat dalam kehidupannya, orang beriman sangat cinta kepada Allah, kalau seorang itu cinta kepada Allah, Allah akan mencintainya sehingga tercipta apa yang difirmankan-Nya dalam surat Al Maidah ayat 54 : "Dia (Allah) mencintai mereka dan mereka mencintainya" kecintaan akan menimbulkan kepatuhan kepada yang dicintai, dan kepatuhan kepada Allah menuntut kita ber I'tiba' mengikuti sunnah Rasul sebagaimana firman-Nya : "Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka hendaklah kamu beri'tiha' kepadaku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3 : 31) ibadah yang dikerjakan dengan rasa cinta yang mendalam akan terasa membahagiakan dan tidak memberatkan, bahkan bisa mengasyikkan, Ibnu Taimiah mengatakan orang bila bersama dengan yang dicintainya akan merasa asyik dengan keadaannya.

Pilar kedua : "Raja'a" artinya pengharapan, mengerjakan sesuatu karena ada yang diharapkan, harapan itu akan mempengaruhi motivasi orang yang mengerjakannya, setiap ibadah yang disyari'atkan dalam Islam memberikan kepada yang melakukannya harapan-harapan positif, baik secara ukhrawi maupun duniawi, umpamanya shaum/puasa yang sedang kita kerjakan banyak sekali harapan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, baru saja muncul Ramadhan disambut dengan ungkapan Marhaban selamat datang ya Ramadhan, dia datang membawa berbagai macam keberkahan, bahkan Ramadhan diberi julukan dengan syahrul muibarok bulan yang penuh berkah, keberkahan adalah idaman kita dalam kehidupan ini, sehingga apa yang kita punyai dan kita lalui dalam hidup ini menjadi lebih bermakna, dalam ungkapan lain Rasulullah SAW bersabda : "Ramadhan itu awalnya Rahmat, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya terlepas dari api neraka." keadaan yang selalu menjadi dambaan seorang muslim dalam mengarungi kehidupan ini, bahkan dalam hadist lain Rasulullah mengingatkan : "Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kalian shaum (puasa) dan aku mensunnahkan qiyam lail(rangkaian ibadah malam) maka barang siapa yang mengerjakannya dengan dasar iman dan kesadaran/perhitungan, maka dia akan keluar dari dosanya, bagaikan anak yang baru dilahirkan." banyak lagi ungkapan nabi yang memberi harapan dan semangat orang dengan ibadah Ramadhan, bahkan ada satu malam yang nilainya sama dengan seribu bulan beramal yaitu malam Qadar "malam Qadar itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. 97 : 3).

Dalam kehidupan duniawi Shiyam/puasa akan memberi harapan menjadi sehat sebagaimana Sabda Rasulullah SAW : "Berpuasalah kamu, kamu akan sehat" dengan berpuasa kamu akan jadi disiplin menata hidup, kamu akan peduli dengan kehidupan orang lain, terutama orang miskin dan tidak mampu. Pernah juga diungkapkan oleh Rasulullah SAW : bulan Ramadhan akan ditambahkan rezeki orang beriman, janji dan ungkapan Allah dan Rasul-Nya tetang nilai-nilai yang akan didapatkan oleh orang yang berpuasa, akan memberi dorongan, motivasi serta harapan dan semangat orang beriman untuk mengerjakannya, apa lagi ada hadist yang menjelaskan bahwa salah satu pintu surga namanya Ar-Rayyan akan masuk surga dan pintu itu orang-orang yang berpuasa.

Pilar ketiga : Khauf, artinya takut, cemas kalau sekirang amal yang dikerjakan tidak diterima oleh Allah, banyak sekali hadist mengingatkan kita tentang khauf dan kuatir kalau Ramadhan yang begitu istimewa tapi kita tidak mendapatkannya, diantaranya sabda Rasulullah SAW : "Berapa banyak orang yang berpuasa tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dan puasanya kecuali hanya sekedar haus dan lapar" dan pada suatu kali Rasulullah SAW tertegun sebentar sebelum naik mimbar, setelah selesai dia berkhutbah ada sahabat yang bertanya kenapa ya Rasulullah? Nabi menjawab, Jibril membisikkan dan menyuruh aku mengaminkan, merugilah orang-orang yang berpuasa Ramadhan sudah lewat tapi dosanya tidak jadi diampunkan Allah, disamping itu kita merasakan dalam keseharian kita ada kekurangan dan ada hal-hal yang sulit terhindarkan, seperti ada yang tidak patut dilihat, terlihat, lalu nafsu menggiringnya untuk melihat, atau terdengar lalu mendengar atau mendengarkan hal-hal yang tidak patut didengar. Sehingga hal ini akan mengurangi nilai puasa. Untung Allah masih memberi kesempatan untuk memperbaikinya dengan membayar zakat fitrah, mudah-mudahan kekurangan-kekurangan itu dapat dihapuskan Allah, maka wajar seorang dalam mengakhiri Ramadhan ini akan timbul perasaan dalam dirinya antara harap dan cemas, kondisi seperti ini seyogyanya menjadi sikap seseorang dalam beribadah kepada Allah.


Penulis : H. Nofrizal Nawawi, Lc, Mpd.I.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 35 Tahun Ke-14 24 Ramadhan 1431 H / 3 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Senin, 11 Oktober 2010

Dampak positif ibadah puasa

Sesudah sebulan lamanya ummat Islam digodok dalam pusdiklat(pusat pendidikan dan latihan) puasa Ramadhan, maka dengan inayah Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dapat diharapkan bahwa kaum Muslimin berhasil di tempa dengan tabiat dan watak utama, diantaranya : mempunyai citra dan cita-cita, disiplin, patuh dan taat (loyal), rendah hati (tawadhu'), sabar, penyantun, sehat dan segar, dan lain-lain watak utama, yang merupakan syarat esensial dalam kehidupan untuk mencapai sukses dan kebahagiaan.

Dampaka positif dari ibadah puasa Ramadhan itu menjalin hubungan manusia yang bersifat vertikal (menjulang) dengan Rabbul Jalali, disamping hubungan yang bersifat horizontal (mendatar dan meluas) dengan sesama makhluk, terutama makhluk manusia.

Dengan menghayati nilai-nilai psikologis dan sosiologis yang terkandung dalam ibadah puasa seperti diuraikan di atas, hendaknya kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia, harus lebih banyak melakukan mawas diri atau instrospeksi tentang keadaan dan posisi mereka di tengah-tengah percaturan dalam segala bidang kehidupan, baik bidang keagamaan, bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lainnya.

Seperti diungkapkan di atas, Allah SWT telah menjanjikan kedudukan yang baik kepada kaum Muslimin. Kedudukan yang baik dalam arti yang hakiki dan seluas-luasnya, yaitu baik dalam segala bidang kehidupan, di bidang politik, ekonomi dan lain-lainnya, sehingga bukan saja mengenyam kebaikan itu untuk diri mereka sendiri, tetapi juga memberikan kebaikan kepada orang lain, menjadi rahmatan lil-'alamin, menjadi karunia untuk seluruh ummat manusia.

Ada orang yang mengatakan bahwa ummat Islam dewasa ini bukan menjadi orang yang baik dan melimpahkan kebaikan kepada keadaan disekitarnya, tetapi hanya menjadi "orang yang baik-baik", bersikap "baik-baik" ke kiri dan ke kanan, sehingga hilang semangat, kurang mempunyai gairah, tidak kreatif, tidak integratif, bahkan bersikap isolatif, mengucilkan diri sendiri. Tidak kelihatan gerak kebersamaan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan yang membawa akibat kelemahan kaum Muslimin, dihadapi sendiri-sendiri, jarang dibicarakan secara bersama-sama, realitasnya terpecah-pecah simpang siur. Padahal Al Quran memperingatkan : "Berpegang teguhlah kepada tali Allah, jangan bercerai-berai." (QS. Ali Imran : 103).

Sebagian ummat Islam sudah merasa puas, bahwa pada waktu ini ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) terjaga baik : tidak mempersoalkan lagi apakah shalat-tarawih sebelas raka'at atau duapuluh tiga ra'kaat; tidak mempersalahkan lagi apakah shalat Jum'at memakai satu azan atau dua adzan; tidak memperbincangkan lagi apakah shalat Subuh memakai doa qunut atau tidak, dan bermacam-macam soal khilafah yang di zaman "baheula" senantiasa menimbulkan perpecahan, tafarruq.

Akan tetapi, tafarruq yang didatangkan dari luar dalam bentuk "gazwul-fikri"(pergumulan pemikiran) dan yang seumpamanya, yang mengalihkan perhatian ummat Islam kepada soal-soal yang tidak relevan dengan kepentingan ummat, dibiarkan begitu saja, atau masa bodoh.

Apabila posisi kaum Muslimin pada waktu ini di seluruh dunia pada umumnya belum mencapai kedudukan seperti yang dijanjikan oleh Allah SWT itu, maka bukanlah karena Allah tidak menepati janjinya, sebab Allah SWT tidak pernah menyalahi janji. (3 : 9)

Dinyatakan oleh orang-orang yang beriman dengan penuh keyakinan, bahwa orang-orang yang berjuang mengembangkan ajaran agama, menegakkan kebenaran dan keadilan, mereka itu akan diberikan kedudukan yang mulia dan terhormat, baik di dunia ini maupun di akherat kelak. Di dunia ini kaum pejuang itu akan bertahta di dalam hati rakyat banyak, dicintai oleh ummat pengikutnya, dikenang jasa dan kebaikannya sepanjang zaman. Adapun di akhirat nanti, mereka dinilai sebagai Syuhada' yang mendapat tempat yang tenteram, aman dan damai di sisi Ilahi.


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 35 Tahun Ke-14 24 Ramadhan 1431 H / 3 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ikhlas beramal

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang diredhai Allah, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk rupa dan harta kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kamu." (HR. Muslim)


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 36 Tahun Ke-14 08 Syawal 1431 H / 17 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel). Selengkapnya...

Ibadah dan kepedulian sosial

Pada suatu kali Rasulullah SAW bersabda : "Membuang duri dan rintangan di jalan adalah sadaqah." Suatu ungkapan yang kelihatannya sederhana, tapi mempunyai makna yang mendalam, beliau memberikan suatu gambaran dan keistimewaan ajaran Islam yang menjadi Rahmatan lil'alamin, hanya sekedar menjauhkan rintangan yang ada di jalan menjadi sadaqah, dan sadaqah itu nilainya ganda disamping pahala, juga mempengaruhi kepribadian seseorang baik secara lahir maupun secara nilai spiritual.

Secara lahiriah adalah memperlihatkan kepedulian sosial, sehingga muncul suatu sikap dan rasa mau mengorbankan sebagian harta untuk orang lain, tentu saja ini lebih bermakna lagi di saat sekarang ini, karena memang kondisi krisis ekonomi begitu terasa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari dan jumlah kemiskinan di negara tercinta ini masih sangat tinggi, ditambah lagi setelah kenaikan harga bahan makanan pokok. Walaupun pemerintah telah membantu kesulitan masyarakat miskin dengan memberikan bantuan berupa program subsidi, tentu saja hal ini belum cukup. Islam memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan dengan program sadaqah dan infaq fisabilillah, walaupun sampai saat ini belum terkelola dengan baik dan belum merata, dan di akhir-akhir ini telah banyak bermunculan Lembaga atau Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah, infak dan sadaqah bisa berbentuk sadaqah sunat yang dibeikan dengan hati yang jujur dan ikhlas kepada yang berhak menerimanya, di saat lain bisa berarti zakat yang harus dikeluarkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, di akhir Ramadhan ada satu bentuk sadaqah yang wajib dikeluarkan oleh setiap ummat Islam besar, kecil, tua muda, laki-laki dan perempuan, termasuk anak yang baru dilahirkan menjelang berakhirnya Ramadhan yaitu zakat fithrah.


Penulis : H. Nofrizal Nawawi, Lc, Mpd.I.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 36 Tahun Ke-14 08 Syawal 1431 H / 17 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Aplikasi nilai shiyam ramadhan

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar(imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."(QS. Al Baqarah : 177).

Kita baru saja selesai menghadapi perjuangan yang cukup berat yaitu shaum (puasa) Ramadhan dengan mengendalikan diri dan melawan kehendak hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, rahmat dan maghfirah, Rasulullah SAW pernah melukiskan perjuangan melawan kehendak hawa nafsu kepada para sahabatnya, setelah mendapatkan kemenangan dalam perang Badar Kubro, antara lain beliau bersabda : "Kamu baru saja kembali dari jihad ashgar (perang kecil) menuju jihad akbar (perjuang lebih besar)".

Mendengar sabda Rasulullah SAW para sahabatnya merasa heran dan bertanya akan adakah perang yang lebih hebar dari perang ini ya Rasulullah? dia menjawab ada, yaitu perang melawan hawa nafsu, selanjutnya Rasulullah SAW menegaskan : Jihad yang lebih besar lagi mulia adalah perjuangan terhadap diri pribadi dan hawa nafsu. (Maksud hadist riwayat Bukhari Muslim dan Ahmad).

Kalah melawan kehendak hawa nafsu dan tidak bisa mengendalikan diri adalah penyebab utama berbagai macam kasus kejahatan dan kriminal, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pelecehan, perzinaan, perselingkuhan semua itu disebabkan oleh dorongan hawa nafsu. Begitu juga berbagai macam kejahatan seperti korupsi, kolusi, manipulasi, spekulasi, aborsi, dan emosi adalah dilatarbelakangi oleh kehendak hawa nafsu yang selalu ingin dipuaskan. Ibadah Shaum Ramadhan dan rangkaian ibadah yang kita perbanyak di bulan Ramadhan adalah gelanggang pertarungan yang sengit dan dahsyat melawan gejolak hawa nafsu dan merupakan pelatihan khusus selama satu bulan penuh dalam rangka membatasi berbagai dorongan hawa nafsu syaithoniah dan badaniah. Berbahagialah kaum muslimin yang telah menunjukkan kemampuan serta ketabahannya dan tekun dalam menunaikan tugas selama bulan suci Ramadhan yang penuh berkah; "Semoga Allah menerima ibadah kita semua."

Perwujudan dari kemenangan yang kita capai dengan gemilang selama bulan suci Ramadhan, mengangkat diri pribadi kita masing-masing kepada tingkatan yang lebih berkualitas dalam segala sesuatu, itulah konsekuensi logis bagi pemenang yang telah menerima kemerdekaan kembali sebagai buah dari shiyam itu sendiri. Seandainya belum demikian, berarti hanya menang dalam menahan lapar dan haus saja, dan tidak lulus dalam perjuangan serta menjadi sia-sia amalnya, jadilah dia orang yang merugi. Bagi orang yang sukses dan berhasil, Insya Allah mereka akan mendapatkan julukan Muttaqin atau orang yang bertakwa. Sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya pada surat Al Baqarah ayat 183; "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu shiyam sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelu kamu agar kamu bertakwa."

Membentuk pribadi yang bertakwa sebagai sasaran ibadah shiyam itulah adalah tingkatan tertinggi dari kehidupan yang ingin dicapai oleh setiap orang Islam, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hujurat ayat 13; "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu."

Tanda-tanda dari kepribadian yang muttaqin diantaranya diungkapkan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 177 :
1. Orang yang mantap keimanannya
Keimanan yang mantap dan istiqomah merupakan benteng yang kuat dan kokoh dengan menepis tantangan arus globalisasi dan pengaruh yang ingin menghancurkan ummat Islam semakin berat, hanya dengan keimanan yang kokoh kita bisa bertahan.

2. Orang yang mempunyai kepedulian sosial
Ibadah Shaum (puasa) untuk memberikan isyarat secara tidak langsung agar kita mempunyai kepedulian terhadap sesama ummat Islam apalagi kepada saudara-saudara kita yang anak yatim, orang miskin, dan orang-orang yang kurang mampu, diakhir-akhir ini kita mendapatkan kondisi ummat yang cukup memprihatinkan sebagai akibat dari krisis multi ekonomi dan sosial politik yang kita hadapi.

3. Mendirikan shalat
Pada prinsipnya shalat telah diyakini oleh ummat Islam sebagai ibadah yang sangat prinsip dan menentukan keislaman seseorang, tapi kadang-kadang manusia dikendalikan hawa nafsu, sehingga banyak ummat Islam yang melalaikan shalat, bahkan tidak ada yang mengerjakan sama sekali, walaupun identitasnya Islam. Ibadah Shaum yang melatih dan membina hawa nafsu kita, semoga saja dapat mengarahkan kita kepada yang lebih baik dan menjaga shalat kita.

4. Membayar zakat
Zakat merupakan rukun Islam yang belum dapat dikelola dengan baik, padahal zakat merupakan potensi yang sangat baik untuk memperbaiki kondisi ummat terutama dalam krisis yang sedang melanda, sekiranya terkelola dengan baik bisa saja zakat sebagai jaminan pengamanan sosial yang lebih baik dari program JPS, RLT atau Raskin sekarang ini. Dan berbagai macam subsidi.

5. Memenuhi janji
Setiap muslim melakukan perjanjian, baik kepada sesama manusia apalagi dengan Allah, minimal janji seseorang dengan Allah adalah syahadatnya berisi konsekuensi untuk mengamalkan semua tuntutan kewajiban kepada-Nya, maka dituntut untuk memenuhi janjinya sebagai tanda orang yang bertakwa.

6. Orang yang sabar
"Dan orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan."
Ibadah puasa melatih dan mendidik untuk selalu sabar, karena sabar merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia, orang sabar mengendalikan emosinya dan tidak akan terlalu sedih dengan musibah yang menimpanya, sebaliknya orang yang tidak sabar akan gagal dalam menghadapi persoalan hidupnya, akhir ayat 177 surat Al Baqarah ini Allah mengingatkan mereka yang berkepribadian orang bertakwa tersebut dapat kita realisasikan dalam kehidupan kita.

Idul fitri adalah kemerdekaan diri pribadi, orang yang benar-benar dapat mengerjakan shiyam Ramadhan dengan keimanan dan kesadaran, maka dia akan kembali ke asal mula kejadiannya, dalam keadaan fithrah, suci bagaikan anak yang baru dilahirkan; "Setiap anak yang baru dilahirkan adalah dalam keadaan fithrah."

Orang yang berada dalam keadaan fithrah adalah orang bersih dari noda dan dosa. Kondisi ini akan mempengaruhi sikap dan perbuatannya. Manusia yang berkualitas adalah yang berada dalam keadaan fitrah, karena manusia yang berada dalam keadaan suci bersih mampu memfungsikan akal fikirannya untuk menjaga, mengimbangi dan mengendalikan gejolak hawa nafsu, sehingga jiwanya jadi bersih dan dapat menghindarkan diri dari segala kejahatan, keburukan serta maksiat dan menciptakan kehidupan yang damai, aman, tenteram, adil dan makmur sebagai didambakan oleh ummat manusia.


Penulis : Nofrizal Nawawi.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 36 Tahun Ke-14 08 Syawal 1431 H / 17 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Ukhuwah Islamiah

Ukhuwah artinya saudara.
Ukhuwah islamiah saudara sesama Islam, merupakan rasa persaudaraan yang didasari oleh kesamaan iman dan pedoman hidup secara islam.

Firman Allah dalam surat Al Hujurat ayat 10 : "Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

Dengan ukhuwah islamiah hilang segala perbedaan, warna kulit, suku, asal dan kedudukan, tidak ada beda antara orang Arab dan bukan Arab, yang membedakan hanya ketakwaan kepada Allah.

Orang beriman wajib menjaga rasa persaudaraannya, ibadah-ibadah dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji salah satu rahasia dan hikmahnya yang terkandung dalamnya adalah memperkuat ukhuwah islamiah.

Persaudaraan orang islam sesama islam bagaikan sebuah bangunan yang berdiri kokoh satu sama lainnya saling menguatkan dan saling membutuhkan, rasa kasih sayang, hubungan baik dan sopan santun satu sama lainnya, kalau dapat kata Rasulullah SAW hendaknya bagaikan sebatang tubuh, bila mana ada bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasa terganggu, sebagaimana dijelaskan dalam hadist pilihan berikut.


Orang Beriman Bagaikan Tubuh Manusia
"Dari Nu'man bin Basyir yang diredhai Allah keduanya, dia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW; Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang mereka dan hubungan baik antara mereka seperti tubuh, apabila ada bagiannya terganggu (sakit), maka seluruh tubuh akan merasakan terganggu dan merasa sakit." (HR. Bukhari - Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 37 Tahun Ke-14 15 Syawal 1431 H / 24 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Tilawatil Quran dan keutamaannya

"...Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda antara yang hak dengan yang batil." (QS. Al Baqarah : 185)

Perbedaan Waktu Turunnya (Nuzul) Al Quran :
Ada Ulama yang meyakini Al Quran diturunkan pada 17 Ramadhan dan ada pula pada "Lailatul Qadar" (malam kemuliaan). Dan "Lailatul Qadar" dinyatakan Rasulullah SAW terjadi pada 10 hari terakhir Ramadhan, yang pada malam-malam ganjil.
Mana yang benar? Wallahu'alam Bishshawab.
Yang jelas berdasarkan firman Allah surat Al Baqarah ayat 185, Al Quran diturunkan pada bulan Ramadhan.

Sejarah Al Quran
Ketika Rasulullah SAW wafat, ayat-ayat Al Quran belum terkumpul. Masih menjadi hafalan para "Hafiz", dan ada pula ditulis di kulit-kulit binatang, pelepah korma dan lain sebagainya.
Pengumpul ayat-ayat Al Quran pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar Siddiq, atas usul Umar bin Khatab, karena sudah banyak penghafal Al Quran yang wafat. Terutama ketika Perang Yamamah pada tahun 12 Hijriyah, yakni perang melawan kelompok Islam yang murtad pengikut Musallamah al-Kazzab. Waktu itu 70 orang penghafal Al Quran terbunuh (syahid).
Tersusun lengkap seperti Al Quran sekarang di zaman Khalifah Usman bin Affan.

Keutamaan Al Quran
Membacanya (tilawah) saja berpahala. Apalagi menghayati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Karena Al Quran berisi kandungan petunjuk bagi manusia.
Sampai saat ini Al Quran masih terjamin keaslian dan kesuciannya.

Mari kita jadikan Al Quran sebagai pedoman hidup, sehingga terwujudnya keluarga-keluarga yang "Qurani".


Penulis : H. Muazim Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 37 Tahun Ke-14 15 Syawal 1431 H / 24 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Melestarikan semangat ramadhan

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al Baqarah : 208).

Hari kemenangan Idul Fitri I Syawal 1431 H baru saja berlalu. Gemuruh suara takbir, tahmid dan tahlil yang membahana dari pelosok desa sampai ke kawasan kota masih terngiang di telinga kita. Saat ini pun kita masih dalam suasana silaturahmi, bergembira bersama keluarga, handai tolan, sahabat dan teman seprofesi serta sekantor. Semuanya ini pertanda kita baru saja kembali dari peperangan melawan hawa nafsu dan isnya Allah kita termasuk orang yang beruntung meraih predikat muttaqin (orang yang bertakwa).

Berhasil tidaknya kita meraih predikat muttaqin tentu Allah-lah yang menentukan. Lantas bagaimana tanda orang yang berhasil dalam ibadah puasanya? Hal ini bisa diliat dari ibadahnya kepada Allah SWT dan akhlaknya seusai Ramadhan. Jika ibadahnya meningkat dan prilakunya semakin baik ia termasuk orang yang berhasil. Tetapi sebaliknya jika tidak ada perubahan atau bertambah jauh dari-Nya, dan masih berbuat hal-hal yang dilarang Allah, itulah orang yang merugi. Rasulullah SAW telah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Betapa banyak orang berpuasa, tapi ia tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan haus."

Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat beberapa fitrah. Di antaranya fitrah beragama (mentauhidkan Allah), fitrah sosial (bermasyarakat), fitrah bersusila dan berakhlak mulia, fitrah bermartabat tinggi serta fitrah kesucian. Fitrah keagamaan dimulai dari sejak ia berada dalam rahim ibunya. Ketika roh ditiupkan Allah, Si janin sudah berjanji Tuhannya adalah Allah SWT; (QS. Al A'raaf : 172). Janji atau ikrar ini yang sering dilupakan manusia sehingga ia sering "menuhankna" selain-Nya. Selama Ramadhan manusia ditempa untuk mengingat janji dan ikrar tersebut.

Begitu pula dengan fitrah sosial. Selama Ramadhan kita dilatih sehingga suka berinfaq, bersedekah kepada mereka yang tak mampu. Diharapkan kepedulian sosial ini juga terus berlanjut. Selama Ramadhan kita dilatih mengendalikan hawa nafsu, memperbaiki susila dan akhlak. Setiap manusia diciptakan Allah sebagai makhluk bermartabat tinggi. Berbeda dengan binatang yang hanya diberi nafsu tapi tidak diberi akal. Tetapi kadang-kadang manusia lupa, nafsunya lebih berkuasa dibanding akalnya. Akibatnya manusia diperbudak hawa nafsu. Hal inilah yang dikendalikan selama Ramadhan. Dan seusai Ramadhan seyogyanya masih berkelanjutan.

Sedangkan fitrah kesucian dapat diraih bila mereka menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan baik sesuai tuntutan Allah dan Rasul-Nya, Rasul bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan karena Allah, dan penuh perhitungan, maka akan diampuni segala dosanya." Tentu orang yang tidak berdosa akan menjadi suci. Suci seperti anak yang baru lahir.

Mari kita lestarikan "Semangat Ramadhan" selama hayat masih di kandung badan. Kita harus komitmen dalam beragama. Kalau selama Ramadhan kita rajin dan taat beribadah kepada Allah SWT, pasca Ramadhan hendaknya demikian pula. Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mari kita aplikasikan hasil latihan sebulan penuh dalam keseharian kita.

Baik dalam memelihara hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Peliharalah kesucian yang telah kita raih karena belum tentu kita akan bertemu lagi dengan Ramadhan yang akan datang. Hanya Allah-lah yang mengetahui segala-galanya tentang kehidupan kita.

Oleh karena itu mari lestarikan "Semangat Ramadhan". Kita amalkan Islam secara menyeluruh (kaffah).


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 37 Tahun Ke-14 15 Syawal 1431 H / 24 September 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Selasa, 05 Oktober 2010

Nasihat Iblis pada Nabi Musa

Isi khutbah Jumat kali ini mengambil kisah dari Nasehat Iblis kepada Nabi Musa AS. Ceritanya kurang lebih seperti ini, pada suatu waktu, datang Iblis menemui Nabi Musa AS untuk menyampaikan nasehat sebanyak 1003 nasihat. Nabi Musa yang seorang Nabi tentu saja langsung mengusir Iblis tersebut, tetapi belum jauh si Iblis itu pergi, datanglah Malaikat Jibril memberitahu Nabi Musa agar memanggil kembali si Iblis dan menerima nasihat yang 3 saja, sedangkan yang 1000 kata Malaikat Jibril adalah bohong dan tidak benar semua. Maka dipanggillah lagi si Iblis oleh Nabi Musa. Singkat cerita si Iblis pun memberikan nasihat yang 3 itu kepada Nabi Musa, yaitu :

1. Jika engkau berniat berbuat hal kebaikan, maka jangan tunda-tunda lagi, bersegeralah lakukan, karena aku (iblis) akan membujukmu untuk berbuat baik tersebut.

2. Jika engkau berdekatan dengan kaum hawa yang bukan muhrimmu, maka waspadalah, jangan sampai engkau terlena, karena aku(Iblis) akan berada di tengah-tengahmu untuk membujukmu berbuat hal yang tidak-tidak.

3. Jika kamu dalam kondisi marah dan meledak-ledak amarahmu, segeralah engkau sadar, karena aku(Iblis) yang akan menjadi dalang dari kemarahanmu.
Selengkapnya...

Kiat - kiat Mempererat Cinta Suami dan Istri

Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi.

Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.

Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.

Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.


Pertama : Saling Memberi Hadiah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai".[1]

Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.

Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang isteri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh isterinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadian meski sederhana.


Kedua : Mengkhususkan Waktu Untuk Duduk Bersama.

Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama.

Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan isteri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan isteri dan anak-anaknya dalam waktu lama. Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?

Syaikh bin Baz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik berdasarkan firman Allah:

"Pergaulilah mereka dengan baik" [An Nisa`: 19]

Juga sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakala sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap isterinya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

"Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak" [Muttafaqun ‘alaihi].

Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiban agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah-lembut sesuai dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga, disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyariatkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.

Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian. [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]

Sebaliknya, seorang isteri juga disyariatkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor. Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.

Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan isteri saling bekerjasama:

"Tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa".

Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya". [Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]

Nasihat Syaikh bin Baz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada isteri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka. Mungkin di antara sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.


Ketiga : Menampakkan Wajah Yang Ceria.

Diantara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria" [HR Muslim]

Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar.

Ada pertanyaan dari seorang istri yang disampaikan kepada Syaikh bin Baz, sebagai berikut :

"Suami saya -semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikit pun. Jika di rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya.

Tetapi Allah-lah yang mengetahui bahwa saya –alhamdulillah- telah melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.

Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk orang yang murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.

Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?"

Dijawab oleh Syaikh bin Baz : “Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:

"Pergaulilah mereka dengan baik". [An Nisa` : 19].

Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri".

Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Dan berdasarkan sabda Nabi:

"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik". [HR Muslim].

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria".[HR Muslim]

Juga berdasarkan sabda Nabi:

"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian".[Diriwayatkan oleh Tirmidzi].

Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat.

Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar. Banyak ayat yang menunjukan, barangsiapa yang bertakwa dan sabar, maka sesungguhnya balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada orang-orang yang sabar.

Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan yang pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan yang baik, insya Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada jalan yang lurus. [Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah].

Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.

Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian wanita, yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorang pun. Karena seorang wanita yang shalihah ialah, yang bisa menjaga dan memelihara kedudukan martabat suaminya. Nabi telah memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah, seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya, atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.

Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi pun ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah n dan berkata: “Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?”

Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu". [Muttafaqun ‘alaihi]


Keempat : Memberikan Penghormatan Dengan Hangat Kepada Pasangannya.

Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah, ataupun ketika pulang. Penghormatan itu, hendaklah dilakukan dengan mesra.

Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah n mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.

Perbuatan sebagian orang, ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat.

Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang telah diseterika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.

Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja dipikirkan!”

Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.


Kelima : Hendaklah Memuji Pasangannya.

Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk dipuji -dalam batas-batas yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan [2], bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat : untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.

Abu Bakar As Siddiq Radhiyallahu 'anhu pernah dipuji, dan dia berdo’a kepada Allah: “Ya, Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui”.

Perkatanan ini juga diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau dipuji-puji oleh seseorang di hadapan manusia. Beliau rahimahullah menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.

Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya di hadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.


Keenam : Bersama-Sama Melakukan Tugas Yang Ringan.

Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.


Ketujuh : Ucapan Yang Baik.

Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan.

Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapan yang baik.[3]

Misalnya dengan perkataan : “Mengapa engkau tidak memakai celak?”

Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan : “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu”.

Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat menyenangkan.

Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan purnama, suami bertanya : “Tahukah engkau bulan purnama di atas?”

Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab : “Apakah engkau lihat aku buta?”


Kedelapan : Perlu Berekreasi Berdua Tanpa Membawa Anak.

Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi jenuh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri.

Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.

Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! Kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.


Kesembilan : Hendaklah Memiliki Rasa Empati Pada Pasangannya.

Rasulullah bersabda:

"Perumpamaan kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam".[4]

Ini berlaku secara umum kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring di tempat tidur, isteri tertawa-tawa di sampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.


Kesepuluh : Perlu Adanya Keterbukaan.

Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.

Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami-istri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan tenteram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.... amin ya rabbal alamin.
Wassalam.......
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Adil

Adil secara bahasa berarti istiqamah, tegak lurus.
Pengarang Mu'jamul Wasith; Adil itu ialah insyaf dan memberikan seseorang haknya dan mengambil apa yang menjadi kewajibannya.

Adil berarti memberikan/membagikan sesuatu sesuai dengan hak orang yang berhak menerimanya, juga bisa berarti mengatur, menentukan dan memutuskan sesuatu dengan tidak berat sebelah dan tidak memihak ke salah satu pihak. Termasuk pengertian adil menyatukan hak dan kewajiban dan berbuat sesuai dengan aturan, banyak sekali ayat yang memerintahkan kita berlaku adil, diantaranya : "Maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil."

Orang Islam dituntut berlaku adil dalam segenap aspek kehidupan baik berupa perkataan, perbuatan, akhlak dan dalam menghukum. Orang Islam yang dapat melakukan aturan Islam sesuai dengan semestinya maka dia adalah orang yang adil.

Adil terhadap diri sendiri dengan memberikan haknya dan tidak melakukan apa yang akan menimbulkan kebinasaan terhadap dirinya seperti perbuatan maksiat. Adil terhadap keluarga dengan menjaga kehormatan keluarga dan menjaga agar jangan melakukan perbuatan yang menjerumuskan ke neraka, memberikan hak keluarga sesuai dengan posisi seseorang di tengah keluarga apakah sebagai ayah, ibu, anak, isteri dan suami, masing-masing punya hak dan kewajiban. Adil terhadap orang lain dengan memberikan haknya.

Orang yang berlaku adil di dunia akan mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah karena keadilan sangat dekat dengan takwa, dan akan mendapatkan ketenangan serta kebahagiaan di akhirat.


Kemuliaan Orang yang Adil.
"Dari Abdullah bin Amru bin Ash yang diredhai Allah keduanya, dia berkata: telah bersabda Rasullah SAW; sesungguhnya orang yang berlaku adil disisi Allah berada di atas mimbar cahaya, yaitu orang yang adil dalam hukuman mereka dan terhadap keluarga dan apa yang diberikan kepada mereka dari kekuasaan." (HR. Muslim).

Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Memelihara semangat ramadhan

"...Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al Baqarah : 185).

Setelah sebulan penuh kita menjalankan "shaum" (berpuasa) maka di Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal, kita agungkan nama Allah SWT dengan bertakbir, bertahmid dan bertahlil, sebagai implementasi rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Kembali Kepada Fitrah
Fitrah adalah jati diri serta kejadian asal pada diri manusia. Fitrah adalah potensi dasar yang ada dalam diri manusia.

Ada beberapa fitrah manusia diantaranya ialah :
1. Fitrah bertauhid (QS. Al A'raaf : 172).
2. Fitrah bersosial (bermasyarakat) (QS. Ali Imran)
3. Fitrah bersusila (Akhlakul Karimah). Berakhlak mulia.

Semangat Ramadhan
Sebulan penuh di bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengendalikan diri, baik fisik maupun mental. Karena Ramadhan memang bulan beribadah (Syahrul ibadah) bulan latihan/pendidikan (syahrul madrasah). Meski di siang hari kita menahan lapar dan haus, malamnya kita tetap bersemangat untuk beribadah kepada Allah SWT.

Hal itu kita lakukan hanya semata mengharap ridha dari Allah SWT. Semangat Ramadhan ini harus kita pelihara atau lestarikan 11 bulan sesudah Ramadhan.

Jangan hanya di bulan Ramadhan kita taat kepada Allah, tetapi juga di luar Ramadhan.

Mari kita masuki, atau jalani agama Islam secara total (kaffah) (QS. Al Baqarah : 208).

Semua kita berharap, semoga Allah masih memanjangkan umur kita, dan kita berjumpa lagi dengan Ramadhan yang akan datang.


Penulis : H. Muazim Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Potret orang yang bertakwa

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam." (QS. Ali Imron : 102)

Latihan pengendalian diri sebulan penuh di bulan Ramadhan baru saja kita lalui. Kita shaum (berpuasa) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, karena sesuai dengan janji Allah, dengan berpuasa kita akan menjadi orang yang bertakwa (muttaqin). Orang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang paling mulia disisi Allah (QS. Al Hujurat : 13). Bagaimana betul ciri orang-orang yang bertakwa itu? Banyak orang hanya bisa mengucapkan kata takwa, tetapi mereka tidak mengetahui akan arti dan maksudnya. Ironisnya, kata-kata takwa itu diucapkan orang hanya sekedar "pemanis" pidato atau ceramah.

Perkataan takwa ini berasal dari bahasa Al Quran, terambil dari akar kata "waqa" atau "ittaqa", yang menurut ilmu bahasa, antara lain berarti; takut, memelihara, menjaga dan menjauhi. Bertakwa kepada Allah, berarti memelihara dan menjaga diri dari perbuatan yang dimurkai-Nya.

Adapun maksud takwa menurut syariat Islam, seperti yang dirumuskan oleh Prof Afif at Tabbarah di dalam bukunya Ruhud Dienil Islamy ialah manusia takut (untuk melaksanakan) hal-hal yang dimurkai Allah SWT dan takut kepada hal-hal yang merusak diri sendiri, dan merusak kepada orang lain.

Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan, bahwa takwa itu mengandung tiga unsur yakni : 1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah, 2. Menghindarkan perbuatan-perbuatan yang merugikan (memberikan mudharat) kepada diri sendiri, 3. Menjauhi perbuatan-perbuatan yang merusak atau merugikan orang lain.

Jika kita teliti dan dalami, begitu hebatnya orang yang telah menyandang predikat bertakwa (muttaqin). Itulah sebabnya di dalam Al Quran tidak sedikit imbauan dan seruan agar manusia selalu mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), banyak-banyak mengingat Allah, dan kuncinya selalu taat menjalankan syariat agama.

Tidak kurang dari 250 kali pecahan kata-kata yang berasal dari akar kata "waqa" atau "ittiqa". Dari jumlah itu terdapat 79 kali perintah di dalam kitab suci umat Islam itu, yang menyuruh orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah SWT.

Para ahli tafsir menyimpulkan, kalau ungkapan ayat Al Quran yang berjumlah 6666 ayat itu mau disimpulkan dalam satu perkataan saja, maka ungkapan itu sudah tercakup dalam perkataan "takwa" tersebut.

Kandungan Al Quran yang berintikan kata "takwa" banyak nilai (value) yang diperlukan kehidupan bermasyarakat. Diantaranya manusia dituntun untuk bersikap adil, punya pendirian yang teguh (istiqamah), suka memaafkan, suka menepati janji, memberi petunjuk untuk mengatasi suatu persoalan yang rumit, serta berpuluh-puluh nilai lainnya yang masuk dalam rangkaian budi pekerti seperti akhlak yang baik (akhlakul karimah).

Jika kita semua menyadari, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam esensi, jiwa dan semangat "takwa" itu bersumber dari ajaran agama, dan berakar dari ayat-ayat Al Quran, maka sewajarnyalah kita berupaya untuk mencapai derajat "orang yang bertakwa" (muttaqin) yang selalu kita dengung-dengungkan.

Potret manusia yang bertakwa ditegaskan dalam satu rangkaian ayat Al Quran, yang artinya; "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa itu yakni orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan suka memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji, mereka terus ingat kepada Allah, lalu memohon ampun, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan setelah tobat mereka tidak lagi meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran : 133-135).

Dari kandungan ayat tersebut dapat disimpulkan, ada empat karakter utama yang harus dimiliki orang yang bertakwa, yaitu :

1. Menafkahkan sebagian hartanya dalam segala situasi dan kondisi, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. 2. Dapat mengendalikan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah terhadapnya. 3. Sadar setelah melakukan sesuatu dosa, kemudian bertobat kepada Allah. 4. Tidak terus menerus melakukan perbuatan terlarang, yang diketahuinya perbuatan itu adalah dosa.

Berat memang untuk mencapai derajat takwa itu. Tidak semudah mengucapkannya. Itulah sebabnya orang yang bertakwa itu ditempatkan pada derajat yang teratas. Untuk mencapainya harus melalui beberapa tingkatan dulu. Yakni dari mereka yang disebut ikhsan, mukhlishin dan barulah muttaqin (orang yang bertakwa).


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Bohong yang dapat ditolerir

Bahwasanya ada 3 macam bohong yang dapat ditolerir atau diperbolehkan :
1. Berbohong dengan tujuan untuk menyenangkan hati istri atau suami. Semisal berbohong mengenai masakan istri.

2. Berbohong dengan tujuan untuk mendamaikan 2 orang atau golongan yang sedang berselisih. Misalkan dengan mengatakan kepada ke2nya bahwa masing-masing berbuat baik satu sama lain.

3. Berbohong dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Misalkan berbohong kepada penjahat yang akan membunuh orang lain dengan mengatakan orang tersebut (yang akan dibunuh) sedang pergi atau telah pindah tempat tinggal.


Dikutip dari : Salah satu ceramah Bapak H. Zainuddin MZ di salah satu media telekomunikasi suara di Palembang.
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Ash Shoidu

Ash-Shaidu artinya memburu hewan, menurut istilah syara' : memburu hewan liar yang halal di makan dengan mempergunakan alat atau hewan yang lain.

Diatara ayat Al Quran tentang ash-Shaidu surat Al-Maidah ayat 96 : "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[442] dan makanan (yang berasal) dari laut[443] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan."

[442] Maksudnya : binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya, termasuk juga dalam pengertian laut disini adalah sungai, danau, kolam dan sebagainya.

[443] Maksudnya : ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar di pantai dan sebagainya.

Berburu hewan liar yang halal biak hewan laut maupun hewan darat dibolehkan menurut Syariat Islam dan diatur caranya agar binatang itu jadi halal, tapi hewan liar di tanah haram Mekkah tidak boleh diburu, bolehnya memburu hewan liar adalah kalau perburuan itu bermaksud untuk mencari hewan yang akan dimakan atau disembelih sebagai makanan, adapun memburu binatang dengan tujuan hanya sekedar menguji kemampuan dan kelihaian menembak atau karena hobbi tidak dibolehkan, karena itu akan menghabiskan satwa dan akan mengganggu lingkungan, Rasulullah SAW melarang sahabatnya membunuh hewan kecuali untuk dimakan, atau hewan yang merusak. Disyaratkan bagi pemburu agar binatang buruannya halal dimakan, bahwa yang berburu itu orang Islam dan memulai melepas hewan buruannya atau alat buruannya dengan menyebut nama Allah, sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada Abi Tsa'labah waktu dia bertanya saya melewati tempat berburu kadang-kadang saya berburu dengan panah dan kadang kala dengan anjing yang terlatih, maka Rasulullah bersabda : "Apa yang kau buru dengan panah, lantas engkau sebut nama Allah maka halal kamu memakan, dan apa yang kau buru dengan anjing yang tidak terlatih berburu, lalu kamu dapati hewan itu masih hidup halal bagimu memakannya kalau kamu sembelih." (HR. Bukhari Muslim)

Tidak Boleh Membunuh Hewan Dengan Tujuan Hobi
"Janganlah kamu menjadikan (membunuh) sesuatu hewan yang bernyawa dengan tujuan menguji kemampuan menembak dengan baik."

Keterangan : Berdasarkan hadits shahih Riwayat Bukhari-Muslim yang diterima dari Ibnu Abbas yang menceritakan tentang larangan Nabi membunuh hewan tanpa tujuan di makan tapi karena tujuan mencoba kemampuan atau karena hobi.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Hidup di dunia hanya sementara

Setiap muslim harus menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Hidup yang kekal adalah di akherat kelak. Dan Allah menciptakan manusia untuk mendiami bumi ini adalah untuk mengabdi kepada-Nya.

Oleh sebab itu, manusia harus selalu bersiap-siap untuk meninggalkan dunia ini. Jangan hanya terlena dengan kemampuan dunia yang sesaat ini. Seorang muslim yang beriman akan selalu ingat dengan akhir hidup ini. Dan ia akan mempersiapkan bekal untuk hari akhirat dengan banyak melaksanakan amal-amal yang baik serta selalu taat beribadah kepada Allah.

Dunia bukanlah tempat bermain-main dan bersenda gurau belaka, akan tetapi juga tempat yang tepat untuk menanam dan berinfestasi agar dapat menuai dan beruntung di hari kemudian.

Banyak orang yang berlama-lama berpanjang kalam/kata hingga mulut berbusa membicarakan persoalan dunia. Namun mereka melupakan dan mengabaikan kepada yang mengurus dunia (Allah Sang Pencipta).

Ketika ada orang-orang yang membela kebenaran dan berusaha menegakkan keadilan justru dianggap sebagai musuh penguasa dan penghambat kemajuan. Di buru, di kejar hingga ke liang semut untuk di tangkap dan dipenjarakan. Namun pecandu narkoba, pecinta kemaksiyatan dan kedzaliman dibiarkan terus tumbuh dan berkembang sulit disentuh peradilan.

Bencana alam yang terjadi dengan segala bentuknya seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, badai, dll. Tidak membuat manusia sadar dan mau introspeksi untuk mau memahami dan mau mengerti terhadap semua itu, akan tetapi justru mereka tetap dalam kedzalimannya.

Banyak manusia tidak berpikir dan tidak sadar bahwa alam itu juga memiliki hukum-hukum dalam bentuk rantai sistem. Maka ketika salah satu mata rantai sistem itu diputus oleh tangan manusia maka akan terjadilah bencana. Salahkah apabila alam itu marah ketika mereka didzalimi manusia?

Kedzaliman adalah musuh Allah, apabila dibiarkan maka Allah akan turun tangan untuk memberi peringatan. Nabi SAW bersabda : "Orang-orang dzalim itu tidak akan lepas dari siksaan Allah dan begitulah adzab Tuhanmu yang sangat pedih dan keras." (HR. Muslim)

Allah SWT berfirman : "Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa." (QS. As Sajdah : 22)


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Mencari rezeki yang halal

"Apabila ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al Jumu'ah : 10)

Mencari rezeki adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh semua manusia, karena hal itu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hajat hidup seseorang. Dalam mencari rezeki, agama memberikan yang bersifat mutlak dan harus diperhatikan, agama memerintahkan bahwa rezeki yang dicari harus diikuti dan ditaati oleh seseorang. Apalagi proses mencari rezeki berkaitan langsung dengan hubungan kemanusiaan, dimana dalam hubungan itu sikap saling membutuhkan dan menguntungkan harus terbina dengan baik.

Ketika mencari rezeki, jasad lahiriyah (anggota tubuh) merupakan media utama yang dapat diamati secara langsung, dan semua aspeknya anggota tubuh itulah yang memberikan gambaran bagaimana kesungguhan keikhlasan, tanggung jawab dan kejujuran seseorang dalam melakukan pekerjaan. Ketika dikaji lebih mendalam bahwa ada peran unsur ruhani yang lebih dominan ketimbang sesuatu yang tampak dari pandangan mata.

Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas dan manhaj islam, yaitu : keseimbangan antara tuntutan kehidupan dunia yang terdiri dari pekerjaan, kelelahan, aktivitas dan usaha dengan proses ruh yang mengasingkan diri dari suasana yang menyibukkan dan melalaikan itu disertai dengan konsentrasi hati dan kemurnian dan berzikir. Hal ini sangat penting bagi kehidupan hati dimana tanpanya hati tidak akan memiliki hubungan, menerima dan menunaikan beban-beban amanat yang besar itu.

Jadi, zikir kepada Allah SWT disela-sela aktivitas mencari rezeki dan penghidupan, dan merasakan kehadiran Allah didalamnya. Itulah yang mengalihkan aktivitas kehidupan kepada ibadah. Namun sesungguhnya (bersama dengan itu) masih harus pula menyediakan waktu khusus untuk melakukan kegiatan berzikir, melepaskan diri dari segala aktivitas, memurnikan niat hati sebagaimana diisyaratkan ayat diatas.

Irak Bin Malik ra. bila telah selesai shalat Jum'at, dia segera bangkit pulang dan di depan pintu dia berhenti untuk berdo'a : "Ya, Allah, sesungguhnya aku telah memenuhi panggilan-Mu, Telah aku laksanakan shalat yang menjadi kewajibanku dari-Mu. Dan aku pun hendak bertebaran dimuka bumi sebagaimana Engkau perintahkan. Maka anugerahkanlah rezeki kepadaku dan karunia-Mu, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki." (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Gambaran ini melukiskan kepada kita betapa Irak melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh, dengan penuh kesederhanaan. Kesadaran yang sungguh-sungguh, jelas dan sederhana ini, itulah yang mengangkat kemunitas sahabat kepada kedudukan yang diraihnya, walaupun bersama dengan itu masih ada bekas-bekas daya tarik jahiliyah dan diri mereka, sebagaimana yang tergambar dari ayat terakhir dari surah ini, yang artinya : "Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (khutbah). Katakanlah, apa yang ada disisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan. Allah sebaik-baiknya pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah : 11)

Jabir ra. berkata : "Ketika kami sedang menunaikan shalat (Jum'at) bersama Rasulullah, tiba-tiba datanglah kafilah dagangan yang membawa makanan, maka orang-orang pun menuju kepadanya, sehingga tidak tersisa lagi bersama Rasulullah melainkan hanya ada dua belas orang, diantaranya Abu Bakar dan Umar ra. Maka turunlah ayat ke 11 diatas". Pada ayat ini terdapat isyarat bagi mereka bahwa semua yang ada disisi Allah adalah lebih baik dari permainan dan perdagangan. Ia juga mengandung peringatan bagi mereka bahwa sesungguhnya rezeki itu dari Allah SWT semata-mata.

Bagi seseorang yang betul-betul beriman, mereka menyakini bahwa Allah SWT tidak akan melupakannya. Janji Allah SWT bahwa Dia (Allah) akan mendatangkan rezeki itu dari segala penjuru dan jalan yang tidak diduga, menjadikan mereka lebih optimis meraih kebahagiaan dunia dan akherat. Ketika bekerja kesungguhannya akan nampak dari mekanisme dan semangat yang ia miliki, dan manakala panggilan untuk ibadah mengumandangkan (Azan), maka mereka akan meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk memenuhi panggilan itu.

Manakala bekerja pun ketekunan, kejujuran, keikhlasan dan kedisiplinan akan tampak dalam diri mereka, sebagai buah manifestasi iman yang ada di dalam dadanya. Ketika ia menerima uang diluar pendapatan rutinnya, maka ia akan menelaah itu halal atau haram. Kesadaran mereka begitu tinggi, sehingga mereka menyadari bahwa rezeki yang tidak halal sesungguhnya akan berpengaruh pada watak dan kepribadian anak-anaknya ketika uang ini dijadikan barang konsumsi.


Penulis : MR. Solihin.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...