Senin, 14 Juni 2010

Menghidupkan budaya malu

"Apabila perzinahan dan riba telah melanda suatu negeri maka mereka (penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah." (HR. Athabrani dan Al Hakim).

Membaca surat kabar lokal beberapa bulan terakhir ini, kita jadi prihatin. Tiada hari tanpa berita kriminal dan maksiat. Yang namanya kasus perkosaan selalu menghiasi halaman surat kabar. Ada berita tentang seorang ayah menghamili anak kandung. Ada gadis belita yang diperkosa siswa SLTP. Dan lain sebagainya.

Kita tak habis pikir, kenapa orang tega berbuat demikian. Dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak berwajib, motifnya karena tidak bisa mengendalikan dorongan hawa nafsu.

Tapi bila kita amati, ada faktor lain sebagai penyebabnya. Yakni tidak adanya "rasa malu". Seorang kakek yang menurut istilah anak muda sekarang sudah bau tanah (maksudnya sudah dekat ke kubur, pen), tidak malu berbuat kurang senonoh dengan bocah cilik. Seorang ayah tega menggauli anak tirinya yang justru harus dilindungi serta dididiknya. Begitu pula kakak-beradik sudah tidak malu secara bersama-sama memperkosa seorang gadis di bawah umur.

Akibat yang ditimbulkan oleh hilangnya "rasa malu" ini bukan hanya membuat angka kasus pemerkosaan meningkat, tetapi juga kasus kriminal lainnya semisal pembunuhan, penganiyaan, pencurian dengan kekerasan, penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Kita baca di surat kabar dan majalah tentang kasus pembunuhan yang terjadi di daerah ini cukup tinggi. Tersinggung sedikit karena omongan, orang tega menghabisi nyawa seseorang.

Juga ada petugas keamanan suatu perusahaan ikut menjadi otak pencurian alias "pagar makan tanaman". Seorang pejabat yang kita nilai memiliki pangkat yang tinggi dan terhormat justru terlibat penyelewengan alias korupsi.

Juga ada yang sudah tergolong pimpinan, tidak malu atas kegagalan-kegagalan yang dilakukannya selaku pimpinan. Jika di negara-negara maju seorang menteri mundur karena kebijaksanaannya dianggap gagal. Tetapi kita jangankan mundur, dikritik saja sudah naik darah dan mencak-mencak.

Kesemuanya itu tidak terlepas dari menipisnya rasa malu. Mereka tak malu lagi dengan anak-istri, tetangga, masyarakat, apalagi dengan Tuhan. Menipisnya rasa malu itu terjadi di kalangan masyarakat menengah ke bawah dan atas.

Dalam ajaran agama Islam, sifat malu itu ditekankan benar. Sebab sifat malu salah satu penyangga dalam mewujudkan pengedalian diri, untuk berbuat keji. Rasa malu akan menghindarkan seseorang dari godaan hawa nafsu.

Bentend Diri
Beberapa pakar di bidang sosial dan agama berpendapat, sifat malu itu merupakan "benteng diri" dalam menangkal godaan untuk berbuat kurang baik. Orang yang memiliki perasaan malu, tidak akan mau berbuat sesuatu yang melanggar hukum, atau melanggar norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat.

Di Sumatera Barat atau Ranah Minang, yang terkenal dengan adatnya bersendikan "syara" (hukum agama), dan "syara' bersendikan Kitabullah (Al Quran)", rasa malu sangat penting bagi masyarakatnya.

Pada dasarnya masyarakat sangat takut berbuat sesuatu yang bisa membuat malu. Sebab rentetannya panjang. Jika seorang warga berbuat sesuatu yang kurang baik, maka orang sekampung akan membicarakannya. Wah, anak si Anu, kemenakan si Anu, dari suku Anu telah berbuat tak senonoh. Jadi si pelaku akan diketahui anak dari siapa, kemenakan siapa, dan dari suku mana. Sehingga si pelaku telah membuat jelek orang tua, menjelekkan "mamaknya", dan telah menjelekkan "sukunya". Yang malu bukan Si pelaku saja, tetapi orang tua, penghulu, dan sukunya. Yang pasti si pelaku akan jadi gunjingan di mana-mana.

Para pengamat sosial menilai, rendahnya angka kriminal di Sumatera Barat, salah satu penyebabnya adalah tebalnya rasa malu di kalangan masyarakatnya.

Tak dapat dipungkiri, rasa malu merupakan bagian penting dari perilaku (akhlak) manusia. Iman seseorang akan kuat bila di dalam dirinya ada rasa malu. Dan iman akan goyah bila rasa malu sudah menjauh dari dirinya.


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 08 Tahun Ke-14 19 Rabiul Awal 1431 H / 05 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar