Kamis, 11 November 2010

Janji harus ditepati

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman); Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Mengucapkan janji mudah, tetapi menepati janji sulit. Apalagi kalau pemimpin mengucapkan janji yang muluk-muluk dihadapan masyarakat. Padahal janji itu hanya sekedar penghias bibir.

Suatu hari Khalifah Umar bin Khattab membuat pernyataan yang ditulis di atas sepotong kulit. Pernyataan itu adalah untuk membayarkan uang sebanyak 25 dinar kepada seorang nenek tua, karena ia tidak sempat lagi memenuhi janjinya kepada nenek itu.

Penulisan surat pernyataan itu disaksikan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah karena Umar memaklumi benar bagaimana pentingnya menepati janji. Dalam catatan sejarah dinyatakan; bahwa pernyataan yang ditulis diatas kulit itu kemudian diberikan kepada anaknya. Kepada anaknya itu Umar berkata; "Bila nanti aku meninggal, masukkan pernyataan itu dalam kafanku, untuk aku bawa menghadap Allah nanti."

Janji dalam agama Islam merupakan masalah yang serius dan harus ditepati. Lebih-lebih janji kepada Allah SWT.

Di dalam Al Qur'an janji itu disebut 'Ahdi dan Wa'd. Dalam pemakaian kedua kata tersebut ada ketentuan-ketentuannya. Sebab janji itu bukan saja terbatas antara sesama manusia, tetapi juga janji antara manusia dan Allah. Orang yang berjanji disebut "Mu'ahadah".

Seorang muslim yang beriman, telah berjanji sejak ia berada dalam kandungan rahim ibunya. Ketika Allah meniupkan roh kepada janin yang dikandung ibunya Allah bertanya; "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Itulah janji pertama manusia terhadap Khaliqnya. Setelah lahir ke dunia, orang tua Si Bayi akan membisikkan ke telinganya "kalimatun thoyiiba" seperti dua kalimat syahadat (syahadatain); "Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah pesuruh-Nya".

Bagi seorang muslim yang beriman, janji dua kalimat syahadat ini paling tidak diucapkan 17 kali sehari, yakni dalam shalatnya yang lima waktu.

Dalam memelihara "Aqidah" (keimanan dan ketakwaan kepada Allah) maka seorang muslim harus selalu mengingat janji-janji tersebut (Bermu'ahadah). Jika kita ingat dengan janji-janji kita itu, tentu kita tidak akan mau mempersyaratkan Allah, kita akan selalu ta'at menjalankan perintah Allah, dan selalu menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak diredhai Allah (bermaksiat).

Banyak orang mengaku beragama Islam, tapi mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah dan mereka lupa dengan Allah, lupa shalat, lupa berzakat dan lain sebagainya. Penyebabnya tidak lain karena ia lupa dengan janjinya kepada Allah. Ia orang yang tidak menepati janji.

Apabila orang telah menepati janjinya kepada Allah ia akan selalu ta'at melaksanakan perintah Allah, dan selalu meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah. Kecuali itu, ia juga akan menepati janjinya kepada sesama manusia.

Penipu
Jika kita mencermati umat Islam di tanah air kita ini, maka mereka mudah sekali mengucapkan janji, tetapi sedikit sekali yang mau menepati janji. Coba lihat beberapa pejabat kita yang begitu bersemangat serta mantap dalam mengucapkan janji ketika mereka dilantik. Begitu pula dengan wakil-wakil rakyat kita dalam mengucapkan janji sebelum menduduki kursi empuk di DPR/DPRD. Setelah jadi wakil rakyat, mereka lupa dengan janji serta sumpah yang mereka ucapkan.

Dalam masa kampanye, para calon Presiden dan wakil presiden selalu mengumbar janji yang muluk-muluk kepada rakyat. Ada yang menjanjikan lapangan kerja yang banyak bila mereka terpilih nanti.

Ada pula yang akan meringankan biaya pendidikan bagi anak-anak sampai ke tingkat SMA. Mereka berjanji akan mengikis habis segala bentuk korupsi, penyelewengan, dan lain sebagainya. Para Capres dan Wacapres kita berjanji akan berlaku supremasi hukum. Pendek kata mereka semua mengumbar janji yang muluk-muluk.

Janji hanya tinggal janji, tapi nyatanya mereka lupa dengan janji mereka.

Pemimpin yang dapat dipercaya, adalah pemimpin-pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang dihargai oleh rakyat adalah pemimpin yang tidak mengkir janji. Orang menyatakan; "Janji adalah utang, dan utang harus dibayar". Orang yang tidak menepati janji adalah penipu.


Penulis : Ibnu Syairy.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar