Selasa, 05 Oktober 2010

Nasihat Iblis pada Nabi Musa

Isi khutbah Jumat kali ini mengambil kisah dari Nasehat Iblis kepada Nabi Musa AS. Ceritanya kurang lebih seperti ini, pada suatu waktu, datang Iblis menemui Nabi Musa AS untuk menyampaikan nasehat sebanyak 1003 nasihat. Nabi Musa yang seorang Nabi tentu saja langsung mengusir Iblis tersebut, tetapi belum jauh si Iblis itu pergi, datanglah Malaikat Jibril memberitahu Nabi Musa agar memanggil kembali si Iblis dan menerima nasihat yang 3 saja, sedangkan yang 1000 kata Malaikat Jibril adalah bohong dan tidak benar semua. Maka dipanggillah lagi si Iblis oleh Nabi Musa. Singkat cerita si Iblis pun memberikan nasihat yang 3 itu kepada Nabi Musa, yaitu :

1. Jika engkau berniat berbuat hal kebaikan, maka jangan tunda-tunda lagi, bersegeralah lakukan, karena aku (iblis) akan membujukmu untuk berbuat baik tersebut.

2. Jika engkau berdekatan dengan kaum hawa yang bukan muhrimmu, maka waspadalah, jangan sampai engkau terlena, karena aku(Iblis) akan berada di tengah-tengahmu untuk membujukmu berbuat hal yang tidak-tidak.

3. Jika kamu dalam kondisi marah dan meledak-ledak amarahmu, segeralah engkau sadar, karena aku(Iblis) yang akan menjadi dalang dari kemarahanmu.
Selengkapnya...

Kiat - kiat Mempererat Cinta Suami dan Istri

Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi.

Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.

Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.

Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.


Pertama : Saling Memberi Hadiah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai".[1]

Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.

Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang isteri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh isterinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadian meski sederhana.


Kedua : Mengkhususkan Waktu Untuk Duduk Bersama.

Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama.

Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan isteri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan isteri dan anak-anaknya dalam waktu lama. Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?

Syaikh bin Baz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik berdasarkan firman Allah:

"Pergaulilah mereka dengan baik" [An Nisa`: 19]

Juga sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakala sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap isterinya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

"Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak" [Muttafaqun ‘alaihi].

Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiban agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah-lembut sesuai dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga, disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyariatkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.

Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian. [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]

Sebaliknya, seorang isteri juga disyariatkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor. Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.

Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan isteri saling bekerjasama:

"Tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa".

Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya". [Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]

Nasihat Syaikh bin Baz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada isteri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka. Mungkin di antara sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.


Ketiga : Menampakkan Wajah Yang Ceria.

Diantara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria" [HR Muslim]

Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar.

Ada pertanyaan dari seorang istri yang disampaikan kepada Syaikh bin Baz, sebagai berikut :

"Suami saya -semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikit pun. Jika di rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya.

Tetapi Allah-lah yang mengetahui bahwa saya –alhamdulillah- telah melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.

Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk orang yang murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.

Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?"

Dijawab oleh Syaikh bin Baz : “Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:

"Pergaulilah mereka dengan baik". [An Nisa` : 19].

Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri".

Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Dan berdasarkan sabda Nabi:

"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik". [HR Muslim].

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria".[HR Muslim]

Juga berdasarkan sabda Nabi:

"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian".[Diriwayatkan oleh Tirmidzi].

Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat.

Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar. Banyak ayat yang menunjukan, barangsiapa yang bertakwa dan sabar, maka sesungguhnya balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada orang-orang yang sabar.

Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan yang pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan yang baik, insya Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada jalan yang lurus. [Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah].

Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.

Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian wanita, yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorang pun. Karena seorang wanita yang shalihah ialah, yang bisa menjaga dan memelihara kedudukan martabat suaminya. Nabi telah memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah, seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya, atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.

Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi pun ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah n dan berkata: “Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?”

Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu". [Muttafaqun ‘alaihi]


Keempat : Memberikan Penghormatan Dengan Hangat Kepada Pasangannya.

Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah, ataupun ketika pulang. Penghormatan itu, hendaklah dilakukan dengan mesra.

Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah n mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.

Perbuatan sebagian orang, ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat.

Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang telah diseterika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.

Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja dipikirkan!”

Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.


Kelima : Hendaklah Memuji Pasangannya.

Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk dipuji -dalam batas-batas yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan [2], bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat : untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.

Abu Bakar As Siddiq Radhiyallahu 'anhu pernah dipuji, dan dia berdo’a kepada Allah: “Ya, Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui”.

Perkatanan ini juga diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau dipuji-puji oleh seseorang di hadapan manusia. Beliau rahimahullah menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.

Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya di hadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.


Keenam : Bersama-Sama Melakukan Tugas Yang Ringan.

Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.


Ketujuh : Ucapan Yang Baik.

Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan.

Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapan yang baik.[3]

Misalnya dengan perkataan : “Mengapa engkau tidak memakai celak?”

Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan : “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu”.

Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat menyenangkan.

Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan purnama, suami bertanya : “Tahukah engkau bulan purnama di atas?”

Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab : “Apakah engkau lihat aku buta?”


Kedelapan : Perlu Berekreasi Berdua Tanpa Membawa Anak.

Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi jenuh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri.

Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.

Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! Kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.


Kesembilan : Hendaklah Memiliki Rasa Empati Pada Pasangannya.

Rasulullah bersabda:

"Perumpamaan kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam".[4]

Ini berlaku secara umum kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring di tempat tidur, isteri tertawa-tawa di sampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.


Kesepuluh : Perlu Adanya Keterbukaan.

Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.

Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami-istri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan tenteram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.... amin ya rabbal alamin.
Wassalam.......
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Adil

Adil secara bahasa berarti istiqamah, tegak lurus.
Pengarang Mu'jamul Wasith; Adil itu ialah insyaf dan memberikan seseorang haknya dan mengambil apa yang menjadi kewajibannya.

Adil berarti memberikan/membagikan sesuatu sesuai dengan hak orang yang berhak menerimanya, juga bisa berarti mengatur, menentukan dan memutuskan sesuatu dengan tidak berat sebelah dan tidak memihak ke salah satu pihak. Termasuk pengertian adil menyatukan hak dan kewajiban dan berbuat sesuai dengan aturan, banyak sekali ayat yang memerintahkan kita berlaku adil, diantaranya : "Maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil."

Orang Islam dituntut berlaku adil dalam segenap aspek kehidupan baik berupa perkataan, perbuatan, akhlak dan dalam menghukum. Orang Islam yang dapat melakukan aturan Islam sesuai dengan semestinya maka dia adalah orang yang adil.

Adil terhadap diri sendiri dengan memberikan haknya dan tidak melakukan apa yang akan menimbulkan kebinasaan terhadap dirinya seperti perbuatan maksiat. Adil terhadap keluarga dengan menjaga kehormatan keluarga dan menjaga agar jangan melakukan perbuatan yang menjerumuskan ke neraka, memberikan hak keluarga sesuai dengan posisi seseorang di tengah keluarga apakah sebagai ayah, ibu, anak, isteri dan suami, masing-masing punya hak dan kewajiban. Adil terhadap orang lain dengan memberikan haknya.

Orang yang berlaku adil di dunia akan mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah karena keadilan sangat dekat dengan takwa, dan akan mendapatkan ketenangan serta kebahagiaan di akhirat.


Kemuliaan Orang yang Adil.
"Dari Abdullah bin Amru bin Ash yang diredhai Allah keduanya, dia berkata: telah bersabda Rasullah SAW; sesungguhnya orang yang berlaku adil disisi Allah berada di atas mimbar cahaya, yaitu orang yang adil dalam hukuman mereka dan terhadap keluarga dan apa yang diberikan kepada mereka dari kekuasaan." (HR. Muslim).

Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Memelihara semangat ramadhan

"...Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al Baqarah : 185).

Setelah sebulan penuh kita menjalankan "shaum" (berpuasa) maka di Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal, kita agungkan nama Allah SWT dengan bertakbir, bertahmid dan bertahlil, sebagai implementasi rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Kembali Kepada Fitrah
Fitrah adalah jati diri serta kejadian asal pada diri manusia. Fitrah adalah potensi dasar yang ada dalam diri manusia.

Ada beberapa fitrah manusia diantaranya ialah :
1. Fitrah bertauhid (QS. Al A'raaf : 172).
2. Fitrah bersosial (bermasyarakat) (QS. Ali Imran)
3. Fitrah bersusila (Akhlakul Karimah). Berakhlak mulia.

Semangat Ramadhan
Sebulan penuh di bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengendalikan diri, baik fisik maupun mental. Karena Ramadhan memang bulan beribadah (Syahrul ibadah) bulan latihan/pendidikan (syahrul madrasah). Meski di siang hari kita menahan lapar dan haus, malamnya kita tetap bersemangat untuk beribadah kepada Allah SWT.

Hal itu kita lakukan hanya semata mengharap ridha dari Allah SWT. Semangat Ramadhan ini harus kita pelihara atau lestarikan 11 bulan sesudah Ramadhan.

Jangan hanya di bulan Ramadhan kita taat kepada Allah, tetapi juga di luar Ramadhan.

Mari kita masuki, atau jalani agama Islam secara total (kaffah) (QS. Al Baqarah : 208).

Semua kita berharap, semoga Allah masih memanjangkan umur kita, dan kita berjumpa lagi dengan Ramadhan yang akan datang.


Penulis : H. Muazim Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Potret orang yang bertakwa

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam." (QS. Ali Imron : 102)

Latihan pengendalian diri sebulan penuh di bulan Ramadhan baru saja kita lalui. Kita shaum (berpuasa) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, karena sesuai dengan janji Allah, dengan berpuasa kita akan menjadi orang yang bertakwa (muttaqin). Orang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang paling mulia disisi Allah (QS. Al Hujurat : 13). Bagaimana betul ciri orang-orang yang bertakwa itu? Banyak orang hanya bisa mengucapkan kata takwa, tetapi mereka tidak mengetahui akan arti dan maksudnya. Ironisnya, kata-kata takwa itu diucapkan orang hanya sekedar "pemanis" pidato atau ceramah.

Perkataan takwa ini berasal dari bahasa Al Quran, terambil dari akar kata "waqa" atau "ittaqa", yang menurut ilmu bahasa, antara lain berarti; takut, memelihara, menjaga dan menjauhi. Bertakwa kepada Allah, berarti memelihara dan menjaga diri dari perbuatan yang dimurkai-Nya.

Adapun maksud takwa menurut syariat Islam, seperti yang dirumuskan oleh Prof Afif at Tabbarah di dalam bukunya Ruhud Dienil Islamy ialah manusia takut (untuk melaksanakan) hal-hal yang dimurkai Allah SWT dan takut kepada hal-hal yang merusak diri sendiri, dan merusak kepada orang lain.

Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan, bahwa takwa itu mengandung tiga unsur yakni : 1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah, 2. Menghindarkan perbuatan-perbuatan yang merugikan (memberikan mudharat) kepada diri sendiri, 3. Menjauhi perbuatan-perbuatan yang merusak atau merugikan orang lain.

Jika kita teliti dan dalami, begitu hebatnya orang yang telah menyandang predikat bertakwa (muttaqin). Itulah sebabnya di dalam Al Quran tidak sedikit imbauan dan seruan agar manusia selalu mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), banyak-banyak mengingat Allah, dan kuncinya selalu taat menjalankan syariat agama.

Tidak kurang dari 250 kali pecahan kata-kata yang berasal dari akar kata "waqa" atau "ittiqa". Dari jumlah itu terdapat 79 kali perintah di dalam kitab suci umat Islam itu, yang menyuruh orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah SWT.

Para ahli tafsir menyimpulkan, kalau ungkapan ayat Al Quran yang berjumlah 6666 ayat itu mau disimpulkan dalam satu perkataan saja, maka ungkapan itu sudah tercakup dalam perkataan "takwa" tersebut.

Kandungan Al Quran yang berintikan kata "takwa" banyak nilai (value) yang diperlukan kehidupan bermasyarakat. Diantaranya manusia dituntun untuk bersikap adil, punya pendirian yang teguh (istiqamah), suka memaafkan, suka menepati janji, memberi petunjuk untuk mengatasi suatu persoalan yang rumit, serta berpuluh-puluh nilai lainnya yang masuk dalam rangkaian budi pekerti seperti akhlak yang baik (akhlakul karimah).

Jika kita semua menyadari, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam esensi, jiwa dan semangat "takwa" itu bersumber dari ajaran agama, dan berakar dari ayat-ayat Al Quran, maka sewajarnyalah kita berupaya untuk mencapai derajat "orang yang bertakwa" (muttaqin) yang selalu kita dengung-dengungkan.

Potret manusia yang bertakwa ditegaskan dalam satu rangkaian ayat Al Quran, yang artinya; "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa itu yakni orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan suka memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji, mereka terus ingat kepada Allah, lalu memohon ampun, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan setelah tobat mereka tidak lagi meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran : 133-135).

Dari kandungan ayat tersebut dapat disimpulkan, ada empat karakter utama yang harus dimiliki orang yang bertakwa, yaitu :

1. Menafkahkan sebagian hartanya dalam segala situasi dan kondisi, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. 2. Dapat mengendalikan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah terhadapnya. 3. Sadar setelah melakukan sesuatu dosa, kemudian bertobat kepada Allah. 4. Tidak terus menerus melakukan perbuatan terlarang, yang diketahuinya perbuatan itu adalah dosa.

Berat memang untuk mencapai derajat takwa itu. Tidak semudah mengucapkannya. Itulah sebabnya orang yang bertakwa itu ditempatkan pada derajat yang teratas. Untuk mencapainya harus melalui beberapa tingkatan dulu. Yakni dari mereka yang disebut ikhsan, mukhlishin dan barulah muttaqin (orang yang bertakwa).


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 38 Tahun Ke-14 22 Syawal 1431 H / 1 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Bohong yang dapat ditolerir

Bahwasanya ada 3 macam bohong yang dapat ditolerir atau diperbolehkan :
1. Berbohong dengan tujuan untuk menyenangkan hati istri atau suami. Semisal berbohong mengenai masakan istri.

2. Berbohong dengan tujuan untuk mendamaikan 2 orang atau golongan yang sedang berselisih. Misalkan dengan mengatakan kepada ke2nya bahwa masing-masing berbuat baik satu sama lain.

3. Berbohong dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Misalkan berbohong kepada penjahat yang akan membunuh orang lain dengan mengatakan orang tersebut (yang akan dibunuh) sedang pergi atau telah pindah tempat tinggal.


Dikutip dari : Salah satu ceramah Bapak H. Zainuddin MZ di salah satu media telekomunikasi suara di Palembang.
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Ash Shoidu

Ash-Shaidu artinya memburu hewan, menurut istilah syara' : memburu hewan liar yang halal di makan dengan mempergunakan alat atau hewan yang lain.

Diatara ayat Al Quran tentang ash-Shaidu surat Al-Maidah ayat 96 : "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[442] dan makanan (yang berasal) dari laut[443] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan."

[442] Maksudnya : binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya, termasuk juga dalam pengertian laut disini adalah sungai, danau, kolam dan sebagainya.

[443] Maksudnya : ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar di pantai dan sebagainya.

Berburu hewan liar yang halal biak hewan laut maupun hewan darat dibolehkan menurut Syariat Islam dan diatur caranya agar binatang itu jadi halal, tapi hewan liar di tanah haram Mekkah tidak boleh diburu, bolehnya memburu hewan liar adalah kalau perburuan itu bermaksud untuk mencari hewan yang akan dimakan atau disembelih sebagai makanan, adapun memburu binatang dengan tujuan hanya sekedar menguji kemampuan dan kelihaian menembak atau karena hobbi tidak dibolehkan, karena itu akan menghabiskan satwa dan akan mengganggu lingkungan, Rasulullah SAW melarang sahabatnya membunuh hewan kecuali untuk dimakan, atau hewan yang merusak. Disyaratkan bagi pemburu agar binatang buruannya halal dimakan, bahwa yang berburu itu orang Islam dan memulai melepas hewan buruannya atau alat buruannya dengan menyebut nama Allah, sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada Abi Tsa'labah waktu dia bertanya saya melewati tempat berburu kadang-kadang saya berburu dengan panah dan kadang kala dengan anjing yang terlatih, maka Rasulullah bersabda : "Apa yang kau buru dengan panah, lantas engkau sebut nama Allah maka halal kamu memakan, dan apa yang kau buru dengan anjing yang tidak terlatih berburu, lalu kamu dapati hewan itu masih hidup halal bagimu memakannya kalau kamu sembelih." (HR. Bukhari Muslim)

Tidak Boleh Membunuh Hewan Dengan Tujuan Hobi
"Janganlah kamu menjadikan (membunuh) sesuatu hewan yang bernyawa dengan tujuan menguji kemampuan menembak dengan baik."

Keterangan : Berdasarkan hadits shahih Riwayat Bukhari-Muslim yang diterima dari Ibnu Abbas yang menceritakan tentang larangan Nabi membunuh hewan tanpa tujuan di makan tapi karena tujuan mencoba kemampuan atau karena hobi.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Hidup di dunia hanya sementara

Setiap muslim harus menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Hidup yang kekal adalah di akherat kelak. Dan Allah menciptakan manusia untuk mendiami bumi ini adalah untuk mengabdi kepada-Nya.

Oleh sebab itu, manusia harus selalu bersiap-siap untuk meninggalkan dunia ini. Jangan hanya terlena dengan kemampuan dunia yang sesaat ini. Seorang muslim yang beriman akan selalu ingat dengan akhir hidup ini. Dan ia akan mempersiapkan bekal untuk hari akhirat dengan banyak melaksanakan amal-amal yang baik serta selalu taat beribadah kepada Allah.

Dunia bukanlah tempat bermain-main dan bersenda gurau belaka, akan tetapi juga tempat yang tepat untuk menanam dan berinfestasi agar dapat menuai dan beruntung di hari kemudian.

Banyak orang yang berlama-lama berpanjang kalam/kata hingga mulut berbusa membicarakan persoalan dunia. Namun mereka melupakan dan mengabaikan kepada yang mengurus dunia (Allah Sang Pencipta).

Ketika ada orang-orang yang membela kebenaran dan berusaha menegakkan keadilan justru dianggap sebagai musuh penguasa dan penghambat kemajuan. Di buru, di kejar hingga ke liang semut untuk di tangkap dan dipenjarakan. Namun pecandu narkoba, pecinta kemaksiyatan dan kedzaliman dibiarkan terus tumbuh dan berkembang sulit disentuh peradilan.

Bencana alam yang terjadi dengan segala bentuknya seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, badai, dll. Tidak membuat manusia sadar dan mau introspeksi untuk mau memahami dan mau mengerti terhadap semua itu, akan tetapi justru mereka tetap dalam kedzalimannya.

Banyak manusia tidak berpikir dan tidak sadar bahwa alam itu juga memiliki hukum-hukum dalam bentuk rantai sistem. Maka ketika salah satu mata rantai sistem itu diputus oleh tangan manusia maka akan terjadilah bencana. Salahkah apabila alam itu marah ketika mereka didzalimi manusia?

Kedzaliman adalah musuh Allah, apabila dibiarkan maka Allah akan turun tangan untuk memberi peringatan. Nabi SAW bersabda : "Orang-orang dzalim itu tidak akan lepas dari siksaan Allah dan begitulah adzab Tuhanmu yang sangat pedih dan keras." (HR. Muslim)

Allah SWT berfirman : "Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa." (QS. As Sajdah : 22)


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Mencari rezeki yang halal

"Apabila ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al Jumu'ah : 10)

Mencari rezeki adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh semua manusia, karena hal itu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hajat hidup seseorang. Dalam mencari rezeki, agama memberikan yang bersifat mutlak dan harus diperhatikan, agama memerintahkan bahwa rezeki yang dicari harus diikuti dan ditaati oleh seseorang. Apalagi proses mencari rezeki berkaitan langsung dengan hubungan kemanusiaan, dimana dalam hubungan itu sikap saling membutuhkan dan menguntungkan harus terbina dengan baik.

Ketika mencari rezeki, jasad lahiriyah (anggota tubuh) merupakan media utama yang dapat diamati secara langsung, dan semua aspeknya anggota tubuh itulah yang memberikan gambaran bagaimana kesungguhan keikhlasan, tanggung jawab dan kejujuran seseorang dalam melakukan pekerjaan. Ketika dikaji lebih mendalam bahwa ada peran unsur ruhani yang lebih dominan ketimbang sesuatu yang tampak dari pandangan mata.

Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas dan manhaj islam, yaitu : keseimbangan antara tuntutan kehidupan dunia yang terdiri dari pekerjaan, kelelahan, aktivitas dan usaha dengan proses ruh yang mengasingkan diri dari suasana yang menyibukkan dan melalaikan itu disertai dengan konsentrasi hati dan kemurnian dan berzikir. Hal ini sangat penting bagi kehidupan hati dimana tanpanya hati tidak akan memiliki hubungan, menerima dan menunaikan beban-beban amanat yang besar itu.

Jadi, zikir kepada Allah SWT disela-sela aktivitas mencari rezeki dan penghidupan, dan merasakan kehadiran Allah didalamnya. Itulah yang mengalihkan aktivitas kehidupan kepada ibadah. Namun sesungguhnya (bersama dengan itu) masih harus pula menyediakan waktu khusus untuk melakukan kegiatan berzikir, melepaskan diri dari segala aktivitas, memurnikan niat hati sebagaimana diisyaratkan ayat diatas.

Irak Bin Malik ra. bila telah selesai shalat Jum'at, dia segera bangkit pulang dan di depan pintu dia berhenti untuk berdo'a : "Ya, Allah, sesungguhnya aku telah memenuhi panggilan-Mu, Telah aku laksanakan shalat yang menjadi kewajibanku dari-Mu. Dan aku pun hendak bertebaran dimuka bumi sebagaimana Engkau perintahkan. Maka anugerahkanlah rezeki kepadaku dan karunia-Mu, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki." (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Gambaran ini melukiskan kepada kita betapa Irak melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh, dengan penuh kesederhanaan. Kesadaran yang sungguh-sungguh, jelas dan sederhana ini, itulah yang mengangkat kemunitas sahabat kepada kedudukan yang diraihnya, walaupun bersama dengan itu masih ada bekas-bekas daya tarik jahiliyah dan diri mereka, sebagaimana yang tergambar dari ayat terakhir dari surah ini, yang artinya : "Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (khutbah). Katakanlah, apa yang ada disisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan. Allah sebaik-baiknya pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah : 11)

Jabir ra. berkata : "Ketika kami sedang menunaikan shalat (Jum'at) bersama Rasulullah, tiba-tiba datanglah kafilah dagangan yang membawa makanan, maka orang-orang pun menuju kepadanya, sehingga tidak tersisa lagi bersama Rasulullah melainkan hanya ada dua belas orang, diantaranya Abu Bakar dan Umar ra. Maka turunlah ayat ke 11 diatas". Pada ayat ini terdapat isyarat bagi mereka bahwa semua yang ada disisi Allah adalah lebih baik dari permainan dan perdagangan. Ia juga mengandung peringatan bagi mereka bahwa sesungguhnya rezeki itu dari Allah SWT semata-mata.

Bagi seseorang yang betul-betul beriman, mereka menyakini bahwa Allah SWT tidak akan melupakannya. Janji Allah SWT bahwa Dia (Allah) akan mendatangkan rezeki itu dari segala penjuru dan jalan yang tidak diduga, menjadikan mereka lebih optimis meraih kebahagiaan dunia dan akherat. Ketika bekerja kesungguhannya akan nampak dari mekanisme dan semangat yang ia miliki, dan manakala panggilan untuk ibadah mengumandangkan (Azan), maka mereka akan meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk memenuhi panggilan itu.

Manakala bekerja pun ketekunan, kejujuran, keikhlasan dan kedisiplinan akan tampak dalam diri mereka, sebagai buah manifestasi iman yang ada di dalam dadanya. Ketika ia menerima uang diluar pendapatan rutinnya, maka ia akan menelaah itu halal atau haram. Kesadaran mereka begitu tinggi, sehingga mereka menyadari bahwa rezeki yang tidak halal sesungguhnya akan berpengaruh pada watak dan kepribadian anak-anaknya ketika uang ini dijadikan barang konsumsi.


Penulis : MR. Solihin.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 18 Tahun Ke-14 22 Jumadil Awal 1431 H / 7 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...