Kamis, 11 November 2010

Ensiklopedi - Hajji

Secara bahasa berarti; bermaksud, datang, ziarah
Menurut Syara': Hajji ialah Datang ke Mekkah untuk melaksanakan perintah Allah pada waktu tertentu dan melaksanakan rangkaian ibadah (Ihram, Thawaf, Sa'i, Mabit dan melontar jumrah di Mina), untuk mengharapkan redha Allah.

Hajji merupakan rukun Islam yang kelima, wajib dilakukan setiap ummat Islam yang mampu mencapainya (ada isthitho'ah), sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Ali Imran ayat 97: "......Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah....."


Istitho'ah artinya mampu mencapainya, maksud mampu disini dalam segi 1. Berbadan sehat, 2. Perbekalan dan kebutuhan, 3. Keamanan jalan dan tempat, 4. Ada kendaraan, 5. Mendapat kesempatan/jatah kuota yang disepakati oleh negara Islam, setiap satu juta penduduk quotanya seribu orang.

Bulan hajji itu adalah Syawal, Zulkaedah, dan Zulhijjah, artinya orang sudah boleh berangkat ke Mekkah pada bulan-bulan tersebut dengan tujuan ibadah hajji. Adapun pelaksanaan rangkaian ibadah hajji setelah datang ke Mekkah 9 Zulhijjah sampai dengan 13 Zulhijjah atau 12 Zulhijjah bagi orang yang ingin segera dengan cara nafar awal (cukup bermalam di Mina 2 malam saja).

Allah dan Rosulnya menjanjikan sesuatu yang sangat menggembirakan bagi orang yang mendapat hajji yang Mabrur, disamping itu ibadah hajji mempunyai nilai yang sangat baik dan positif untuk kehidupan ummat manusia di dunia apalagi untuk alam akhirat.


Keutamaan Ibadah Hajji
"Dari Abi Hurairah yang diredhai Allah dia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW; "Barang siapa yang mengerjakan hajji maka dia tidak berbuat keji dan tidak berbuat fasiq maka dia akan kembali bagaikan dia baru dilahirka ibunya (Tidak ada dosa)." (HR. Bukhari dan Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Langkanya orang yang jujur dan amanah

Mencari orang yang jujur dan amanah di negeri ini sudah sangat sulit. Orang yang jujur dan amanah sekarang sudah langka. Sebagian pemimpin kita sudah tidak lagi amanah. Mereka seenaknya menggunakan fasilitas yang disediakan negara untuk kepentingan pribadi.

Coba kita renungkan suatu peristiwa yang sangat mengharukan, yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu hari, di saat sang khalifah sedang merampungkan tugas-tugas kenegaraan, secara tiba-tiba masuklah seorang putra kesayangannya. Dengan sikapnya yang ramah, ditatapnya putra kesayangannya itu seraya menyapa, "Ada apa wahai anakku." "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, ayahku," jawab anaknya. "Apakah urusan kenegaraan?" sergah sang khalifah. "Tidak, wahai ayahku. Hanya urusan keluarga," kata anaknya lagi.

Setelah kalimat jawaban dari sang anak itu, serta merta sang khalifah bergegas menuju ke suatu tempat sambil mematikan lampu. Maka gelap gulitalah ruangan tersebut. Dengan terheran-heran, anak kesayangannya itu bertanya; "Wahai ayah, apakah gerangan yang terjadi? Bukankah sebaiknya kita berbicara di bawah cahaya lampu yang terang seperti tadi?"

Dengan sangat santun, sang khalifah menjawab; "Lampu yang ayah pakai tadi adalah inventaris negara, sedangkan yang akan kita bicarakan adalah urusan keluarga." Tak lama kemudian, khalifah memanggil pelayannya dan menyuruh membawakan lampu dari ruang dalam. Setelah lampu itu tiba di hadapan khalifah, ia pun berkata; "Nah sekarang lampu yang menyala ini adalah milik kita pribadi, dan minyaknya dibeli dari uang pribadi."

Inilah potret seorang pemimpin yang menjunjung tinggi nilai amanah. Ia tidak mau mencampur-baurkan antara urusan negara dengan urusan pribadi atau keluarga. Ia tidak mau memanfaatkan milik negara untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Karena ia menyadari, bahwa ia bisa jadi pemimpin karena diberi kepercayaan oleh rakyat, dan itu merupakan amanah yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran.

Seorang pemimpin harus berlaku adil, karena adil itu juga merupakan amanah. Perlakukan adil itu berlaku terhadap semua orang. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda; "Andaikata putriku sendiri Fatimah yang mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya."

Kejujuran dan keadilan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Berat memang untuk mengaplikasikan kejujuran dan keadilan tersebut. Lebih-lebih di zaman yang penuh dengan berbagai godaan serta rayuan "keduniaan" yang semakin marak, yang membuat iman seseorang jadi goyang. Tak terkecuali mereka yang ditakdirkan Allah untuk jadi pemimpin, pejabat, wakil rakyat, dan lain sebagainya.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Janji harus ditepati

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka(seraya berfirman); Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Mengucapkan janji mudah, tetapi menepati janji sulit. Apalagi kalau pemimpin mengucapkan janji yang muluk-muluk dihadapan masyarakat. Padahal janji itu hanya sekedar penghias bibir.

Suatu hari Khalifah Umar bin Khattab membuat pernyataan yang ditulis di atas sepotong kulit. Pernyataan itu adalah untuk membayarkan uang sebanyak 25 dinar kepada seorang nenek tua, karena ia tidak sempat lagi memenuhi janjinya kepada nenek itu.

Penulisan surat pernyataan itu disaksikan Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah karena Umar memaklumi benar bagaimana pentingnya menepati janji. Dalam catatan sejarah dinyatakan; bahwa pernyataan yang ditulis diatas kulit itu kemudian diberikan kepada anaknya. Kepada anaknya itu Umar berkata; "Bila nanti aku meninggal, masukkan pernyataan itu dalam kafanku, untuk aku bawa menghadap Allah nanti."

Janji dalam agama Islam merupakan masalah yang serius dan harus ditepati. Lebih-lebih janji kepada Allah SWT.

Di dalam Al Qur'an janji itu disebut 'Ahdi dan Wa'd. Dalam pemakaian kedua kata tersebut ada ketentuan-ketentuannya. Sebab janji itu bukan saja terbatas antara sesama manusia, tetapi juga janji antara manusia dan Allah. Orang yang berjanji disebut "Mu'ahadah".

Seorang muslim yang beriman, telah berjanji sejak ia berada dalam kandungan rahim ibunya. Ketika Allah meniupkan roh kepada janin yang dikandung ibunya Allah bertanya; "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (QS. Al A'raaf : 172)

Itulah janji pertama manusia terhadap Khaliqnya. Setelah lahir ke dunia, orang tua Si Bayi akan membisikkan ke telinganya "kalimatun thoyiiba" seperti dua kalimat syahadat (syahadatain); "Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah pesuruh-Nya".

Bagi seorang muslim yang beriman, janji dua kalimat syahadat ini paling tidak diucapkan 17 kali sehari, yakni dalam shalatnya yang lima waktu.

Dalam memelihara "Aqidah" (keimanan dan ketakwaan kepada Allah) maka seorang muslim harus selalu mengingat janji-janji tersebut (Bermu'ahadah). Jika kita ingat dengan janji-janji kita itu, tentu kita tidak akan mau mempersyaratkan Allah, kita akan selalu ta'at menjalankan perintah Allah, dan selalu menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak diredhai Allah (bermaksiat).

Banyak orang mengaku beragama Islam, tapi mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah dan mereka lupa dengan Allah, lupa shalat, lupa berzakat dan lain sebagainya. Penyebabnya tidak lain karena ia lupa dengan janjinya kepada Allah. Ia orang yang tidak menepati janji.

Apabila orang telah menepati janjinya kepada Allah ia akan selalu ta'at melaksanakan perintah Allah, dan selalu meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah. Kecuali itu, ia juga akan menepati janjinya kepada sesama manusia.

Penipu
Jika kita mencermati umat Islam di tanah air kita ini, maka mereka mudah sekali mengucapkan janji, tetapi sedikit sekali yang mau menepati janji. Coba lihat beberapa pejabat kita yang begitu bersemangat serta mantap dalam mengucapkan janji ketika mereka dilantik. Begitu pula dengan wakil-wakil rakyat kita dalam mengucapkan janji sebelum menduduki kursi empuk di DPR/DPRD. Setelah jadi wakil rakyat, mereka lupa dengan janji serta sumpah yang mereka ucapkan.

Dalam masa kampanye, para calon Presiden dan wakil presiden selalu mengumbar janji yang muluk-muluk kepada rakyat. Ada yang menjanjikan lapangan kerja yang banyak bila mereka terpilih nanti.

Ada pula yang akan meringankan biaya pendidikan bagi anak-anak sampai ke tingkat SMA. Mereka berjanji akan mengikis habis segala bentuk korupsi, penyelewengan, dan lain sebagainya. Para Capres dan Wacapres kita berjanji akan berlaku supremasi hukum. Pendek kata mereka semua mengumbar janji yang muluk-muluk.

Janji hanya tinggal janji, tapi nyatanya mereka lupa dengan janji mereka.

Pemimpin yang dapat dipercaya, adalah pemimpin-pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang menepati janji. Pemimpin yang dihargai oleh rakyat adalah pemimpin yang tidak mengkir janji. Orang menyatakan; "Janji adalah utang, dan utang harus dibayar". Orang yang tidak menepati janji adalah penipu.


Penulis : Ibnu Syairy.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 41 Tahun Ke-14 14 Dzulqaedah 1431 H / 22 Oktober 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - agama

Agama berasal dari bahasa Sangsekerta, terdiri dari dua kata A = tidak, gama = pergi, agama artinya: pegangan ke arah kekekalan. Pengertian lain Agama = tidak kacau (A = Tidak, Gama = Kacau) agma juga diartikan Teks atau kitab suci, dengan demikian diantara definisi agama ialah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.

Definisi lain Ajaran yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui seorang Rasul (Harun Nasution). Dalam Al Qur'an dan Hadist pengertian agama mempergunakan kata AD-DIIN, Ad diin menurut bahasa berarti Patuh, tunduk, hari akhirat, balasan, undang-undang(syari'ah). Pengarang Mu'jamul wasith mengartikan ad-Diin :
1. Ad-Diin ialah nama untuk semua pengabdian/ibadah kepada Allah.
2. Ad-Diin ialah Keyakinan yang tertanam dalam hati dan ikrar dengan lidah dan diamalkan dengan anggota.

Pengertian Ad-Diin menurut Keputusan Tarjih Muhammadiyah HPT 276 :
1. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
2. Agama yang diisyari'atkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya berupa perintah-perintah, larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.

"Sesungguhnya agama(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam". Penggunaan Ad-Diin untuk Islam lebih tepat dan baik dari kata-kata agama dengan sebutan Ad-Dinul Islam.


Orang Beriman Bagaikan Tubuh Manusia
"Dari Nu'man bin Basyir yang diredhai Allah keduanya dia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW;"Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang mereka dan hubungan baik antara mereka seperti tubuh, apabila ada bagiannya terganggu(sakit), maka seluruh tubuh akan merasakan terganggu dan merasa sakit." (HR. Bukhari Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Adab bertamu

Mencermati perilaku para remaja kita saat ini, kita jadi prihatin. Ada petunjuk, sebagian besar mereka sudah jauh dari sopan santun, yang berimbas kepada sirnanya rasa kekerabatan serta hilangnya rasa silaturrahim.

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan interaksi antar personal. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terbentuknya hubungan kekerabatan dilanjutkan dengan silaturahmi dan aktivitas lainnya yang mendekatkan hubungan.

Salah satu aktivitas sosial yang sering kita lakukan adalah bertamu ke rumah saudara, kerabat atau teman kita. Islam sebagai agama yang syamil dan mutakamil mengatur adab umat Islam dalam bertamu.

Berikut beberapa aturan-aturan dalam Islam tentang perihal bertamu:
Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah, juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.

Tidak mengintip melalui jendela.
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
Dari Anas bin Malik, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip sebagian kamar Nabi, lalu Nabi berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang untuk menusuk orang itu."
Hadist ini menunjukkan ancaman yang keras untuk orang yang mengintip dan melihat orang yang berada di rumahnya tanpa memperoleh izin sebelumnya.

Tidak masuk rumah walaupun terbuka pintunya.
Dari ayat 27 An Nur, kta baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.

Minta izin maksimal tiga kali.
Tamu yang hendak masuk di (halaman) rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, tidak ada yang menjawab atau tidak diizinkan, hendaknya pergi. Dari Abu Said Al-Khudri ia berkata,"Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya,"Mengapa kamu kembali?" Dia menjawab, "Saya mendengar Rasulullah bersabda;"Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah kembali."

Tidak menghadap ke arah pintu masuk.
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri.

Hendaknya menyebut nama yang jelas.
Ketika tuan rumah menanyakan nama, tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban"Saya(sebutkan nama)" atau jawaban yang tidak jelas. Karena tujuan tuan rumah bertanya adalah ingin tahu siapa tamu yang mengunjunginya dan untuk menentukan sikap apakah tamu tersebut boleh masuk atau tidak.

Wallahalam bishawab.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Sombong sifat syaithoniyah

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan setinggi gunung." (QS. Al Israa : 37)

Sombong merupakan sifat yang melekat erat pada makhluk yang bernama syaithon/iblis. Dengan sifat itu ia menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Nabi Adam. Si Iblis merasa dirinya adalah lebih baik dari Adam ditinjau dari unsur penciptaannya. Dan karena sifat itulah makhluk laknatullah itu terusir dari surga serta terancam siksa jahannam selamanya.

Dan sekian banyak jenis sifat mazmunah yang ada dalam hati manusia, ternyata sombong adalah salah satu sifat yang dominan disamping sifat iri dan hasut. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya lebih dari orang lain dalam satu atau banyak hal, maka itu termasuk sombong, kecil besarnya perasaan itu muncul dalam hati hanya individu itu yang tahu. Namun dalam kasat mata prilaku sombong dapat diamati terutama dalam pembicaraan/tutur kata seseorang.

Ada seseorang yang ketika berbicara, suka menonjolkan kelebihan-kelebihan dirinya pada orang lain, karena ia merasa telah berhasil dalam sesuatu pekerjaan(jabatan) atau meraih keberhasilan secara ekonomi. Yang aneh tanpa diminta pun ia akan menceritakan kelebihan-kelebihannya pada orang lain. Orang sombong seringkali melihat orang lain tidak seperti dirinya. Ketika orang lain menggantikan jabatannya, maka yang keluar dari lisannya adalah cemoohan dan selalu membandingkan dengan keberhasilan dirinya pada periode sebelumnya. Semua kebijakan yang dilakukan pejabat baru selalu dikritik dan tidak mendapat apresiasi yang membanggakan darinya.

Dibagian lain, ada orang sombong yang selalu menceritakan kekayaan atau keberhasilannya, anak-anaknya dalam segi materi. Ia selalu mempertontonkan kemampuannya untuk memberi barang-barang mewah, mengadakan acara dengan mengeluarkan uang puluhan juta. Ketika tidak ada orang yang menyaksikan di saat ia membeli barang-barang mewah itu, maka ia akan memperbincangkannya dalam setiap pertemuan. Yang aneh lagi bahwa orang-orang semacam ini selalu bercerita kepada mereka yang tidak selevel dengan dirinya. Pernahkah mereka membayangkan sakitnya/ciutnya hati si miskin ketika mendengarkan itu semua.

Bukan tidak mungkin, mereka yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari orang-orang yang berwatak sombong, kemudian berpikir negative, umpamanya: alangkah tidak enaknya menjadi orang miskin, dan mana si sombong memperoleh hartanya(menduga-duga), Allah SWT tidak adil, apa yang dilakukan untuk mendapatkan kekayaan dan seribu satu macam pikiran yang dapat menggiringnya pada kesesatan/kemusyrikan.

Pada saat dimana mereka berada dilingkungan orang-orang yang lebih berhasil atau berpunya dari dirinya, maka dengan sendirinya sifat sombong itu memudar berganti dengan sifat rendah diri, sebagaimana orang tidak punya berhadapan dengan dirinya. Kalau sifat sombong tertanam begitu kuat dalam diri seseorang, maka keberadaannya ditengah orang-orang berpangkat atau kaya akan semakin meningkatkan kadar kesombongannya, ia berpikir bahwa tidak semua orang seperti dirinya yang mempunyai teman atau relasi orang-orang berpangkat serta kaya.

Seseorang yang taat menjalankan ibadah sekalipun, kalau tidak hati-hati akan terjerumus dalam sifat ini. Karena tingginya kualitas dan kuantitas ibadahnya, maka ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling alim dari kebanyakan manusia. Ia adalah orang yang paling baik, taat dalam menjalankan perintah Allah SWT, dan jauh dari kesalahan-kesalahan. Disadari atau tidak, sifat demikian sesungguhnya bagian dari sifat sombong.

Ayat diatas merupakan cerminan bahwa perilaku sombong tidak pantas dimiliki oleh manusia yang dhoif. Kalimat "Tidak dapat menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung" pada ayat di atas menggambarkan bahwa ada keterbatasan manusia dalam segala hal, dan ini menunjukkan kelemahan manusia. Patutkah sifat sombong dimiliki oleh makhluk yang banyak kelemahan, seharusnya kesombongan hanya menjadi milik zat yang menguasai kehidupan dan segala sesuatunya.

Belajar dari seekor burung merak, yang ketika tidak ada yang memperhatikannya, maka sayapnya yang indah terkatup rapat, sungguh berbeda ketika banyak pengunjung yang memperhatikannya, maka gemerlap keindahan bulu sayapnya terkembang. Alangkah indahnya jika ketika kita memiliki kelebihan dalam banyak hal, mulut kita menutup rapat dan keinginan untuk membangga-banggakan diri. Walaupun lisan diam, ketika kita berhasil dalam sesuatu/banyak hal maka masyarakat akan tahu dengan keberhasilan kita itu, dan mereka yang patut menilainya. Itulah indahnya diam.


Penulis : MR. Sholihin.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 23 Tahun Ke-14 29 Jumadil Akhir 1431 H / 11 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Ijtihad

Ijtihad artinya bersungguh-sungguh, rajin.

Menurut Syara' : ijtihad ialah kesungguhan menentukan hukum syara' tentang hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al Qur'an dan Sunnah secara pengertian langsung.

Ulama yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Ijtihad adalah alat menentukan hukum, bukan sumber hukum, tetapi hasil ijtihad bisa menjadi sumber hukum Islam.

Ijtihad hanya dilakukan untuk menetapkan perkara-perkara yang tidak diterangkan Al Qur'an dan Hadits secara jelas, seperti zakat profesi, hukum zakat beras, hukum budi daya katak hijau, zakat hasil perkebunan karet, kopi, kelapa sawit dan lain-lain. Diantara Hadits yang menjelaskan tentang Ijtihad sebagai alat menentukan hukum yang artinya; "Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah, lalu Rasulullah SAW bertanya; Bagaimana cara kamu memutuskan perkara? Muadz menjawab; Aku putuskan dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah. Jika tidak engkau temui? Dia menjawab; Maka aku putuskan perkara dengan sunnah Rasulullah SAW, jika kamu tidak ketemu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah? Jawab Muadz; Aku berijtihad dengan pikiranku, lalu Rasulullah SAW berkata; Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah."

Ijtihad dilakukan oleh ulama yang tafaqquh fidiin (mendalami ilmu agama) dengan syarat-syarat tertentu diantaranya : memahami Al Qur'an dan Hadits, mengetahui hasil ijma' para sahabat Nabi, mendalami bahasa Arab, faham tentang ushul fiqih serta punya ilmu tentang nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Ulama berbeda pendapat tentang Ijtihad dan persyaratan orang yang boleh berijtihad.


Tidak Boleh Mempersulit Agama
"Dari Abu Hurairah yang diredhai Allah dari Nabi SAW, dia berkata; Sesungguhnya agama (Diinul Islam) itu mudah, seseorang yang mempersulit agama (Diinul Islam) akan mengalahkannya (menyusahkannya) maka berlaku benarlah, dan dekatkanlah diri kepada Allah, dan gembirakanlah dan minta tolonglah padi dan sore dan pada sebagian kegelapan malam." (HR. Bukhari).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 39 Tahun Ke-14 29 Syawal 1431 H / 8 Oktobe 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Pentingnya ilmu pengetahuan (2)

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadilah :


Untuk mencapai kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak, seorang muslim harus memiliki ilmu pengetahuan. Untuk memiliki ilmu bisa melalui pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, atau kursus. Dan bisa juga dengan informal, seperti mendengarkan ceramah atau dengan membaca buku (otodidak).

Bagi seorang muslim ada keharusan untuk belajar pengetahuan umum dan juga pengetahuan tentang agama (Islam). Banyak ilmu yang harus dikuasai, ada ilmu untuk berdagang, berusaha. Ada ilmu untuk diajarkan lagi kepada masyarakat. Dan ada ilmu untuk mencapai kedudukan, baik di pemerintahan maupun di institusi-institusi lainnya. Namun ilmu tentang agama tidak boleh dilupakan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) harus disandingkan dengan ilmu untuk menguatkan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) kepada Allah SWT.

Para pengusaha berhasil dengan usahanya adalah dengan ilmu. Mereka yang ditakdirkan Allah jadi penyelenggara negara, karena mereka punya ilmu. Di dalam beragama kita juga harus memiliki ilmu, sehingga ibadah-ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ikut-ikutan. Mereka yang tidak memiliki ilmu agama, ia akan beribadah yang menjurus kepada bid'ah (mengada-ada).

Rasulullah SAW dalam beberapa hadits mengingatkan kita akan pentingnya ilmu pengetahuan, misalnya : "Tuntutlah ilmu itu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Artinya tidak ada kata berhenti untuk menuntut ilmu, selama hayat di kandung badan.

"Apabila mati anak Adam, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga; pertama, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat yang ditinggalkannya, dan anak yang shaleh yang mendo'akannya."

Mereka yang berilmu, dan diajarkannya ilmu itu kepada orang lain. Maka apabila ia meninggal, kemudian ilmu itu diajarkan lagi kepada orang lainnya, maka syafa'atnya akan sampai kepada yang meninggal.

Ada kata bijak yang sering juga diucapkan oleh para ulama dan para juru dakwah (Da'i) berbunyi : "Untuk dapat mencapai kehidupan yang bahagia di dunia, harus dengan ilmu. Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat harus dengan ilmu. Untuk mencapai kedua-duanya juga harus dengan ilmu."


Penulis : Prof. Dr. H. Eddy Mart Salim, SPd, KAI.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 39 Tahun Ke-14 29 Syawal 1431 H / 8 Oktobe 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...