Rabu, 16 Juni 2010

Ensiklopedi - Tajwid

Tajwid secara bahasa berarti membaguskan, menurut istilah Tajwid ialah Memperbaiki bacaan Al Qur'an dengan menyebutkan huruf sesuai dengan hak dan makhraj hurufnya, dan membaca Al Qur'an sesuai dengan tertib dan cara membacanya.

Dalam ilmu tajwid diajarkan bagaimana cara melafazkan huruf dengan benar dan sesuai dengan akhraj (cara keluarnya huruf dari mulut) dan bagaimana cara melantunkan bunyi-bunyi huruf dan kalimat panjang atau pendeknya, dengung atau tidaknya, dan mengetahui cara berhenti atau waqaf serta cara meneruskan bacaan.

Ada beberapa istilah dalam ilmu tajwid diantaranya Mad artinya panjang, Idgham bi Ghunnah memasukkan huruf nun mati atau tanwin kedalam huruf yang sesudahnya dengan tidak mendengungkan, Idzhar yaitu menjelaskan bunyi nun mati atau tanwin bila ketemu dengan huruf Idzhar, Ikhfa menyembunyikan bunyi huruf nun mati atau tanwin dengan samar-samar kedalam huruf yang sesudahnya, Iqlab mendengungkan huruf mim mati bila ketemu dengan huruf ba dan istilah lainnya. Semuanya terhimpun dalam satu ilmu namanya ilmu Tajwid.

Tajwid merupakan salah satu adab membaca Al Qur'an, karena membaca Al Qur'an berbeda caranya dengan bacaan Bahasa Arab lainnya, walaupun membaca hadist. Dan sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang ummat Islam mempunyai kepedulian khusus tentang cara membaca Al Quran dengan tajwid dan banyak sekali buku yang ditulis tentang ilmu tajwid.

Pahala membaca Al Qur'an
"Barang siapa yang membaca satu huruf Al Quran maka untuknya satu kebaikan dan kebaikan itu bernilai sepuluh kali lipat."

Keterangan : Berdasarkan hadist shahih riwayat Tarmidzi yang diterima dari Riwayat Abdullh Ibnu Abbas, dimana beliau menjelaskan bahwa Al Qur'an yang dibaca akan diberi pahala dan setiap huruf yang dibaca, dalam hadist lain dikatakan Alif satu huruf, lam satu huruf dan Mim satu huruf, setiap satu akan digandakan menjadi sepuluh.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 29 Tahun Ke-13 9 Sya'ban 1430 H / 13 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Nabi SAW melihat Jibril AS di Sidratul Muntaha

"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha." (QS. An Najmi : 13-14).

Peristiwa Mi'raj atau dipanggilnya Nabi SAW naik ke langit dan terus ke Sidratul Muntaha setelah melewati langit ketujuh, dapat dipahami dari ayat 13 dan 14 surat An Najmi ini, yang mana dijelaskan bahwa Nabi SAW melihat Jibril secara langsung bentuknya yang asli dua kali, pertamanya waktu menerima wahyu pertama di Gua Hira dan kedua di Sidratul Muntaha waktu Mi'raj.

"Dan sesungguhnya Dia telah melihatnya (Jibril) pada kali yang lain." (QS. An Najm : 13).

Malaikat Jibril makhluk gaib dari penglihatan manusia, tetapi atas kehendak Allah dia bisa dilihat Nabi SAW adakalanya dengan menyerupakan manusia dan pernah dua kali diperlihatkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dengan bentuk yang asli, pertama waktu menerima wahyu yang pertama di Gua Hira dan kedua kalinya adalah sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini, yaitu waktu di Sidratul Muntaha dalam peristiwa Mi'raj.

Menurut riwayat Ibnu Mas'ud tentang ayat ini, Dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Aku melihat Jibril baginya ada 600 sayap tiap satu sayap menutupi satu ufuk."

Apakah Nabi Melihat Allah Waktu Mi'raj?
Waktu Nabi berhadapan dengan Allah dalam peristiwa Mi'raj, Nabi tidak melihat Allah, sebagaimana dijelaskan dalam jawaban Aisyah kepada seorang sahabat yang bertanya kepadanya "apakah Nabi melihat Allah" dia menjawab "SUBHANALLAH", Siapa yang memberi tahu kepadamu bahwa Nabi SAW melihat Allah anda bohong, kemudian Aisyah membaca ayat 103 surat An-An'am : "Dia tidak dapat dicapai penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."

Kemudian dia membaca ayat 51 surat Asy-Syura : "Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir [1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."

Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Illahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS [1347].

Waktu Mi'raj Nabi hanya mendengar suara dari belakang hijab (tabir) dan dia hanya melihat cahaya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist shahih riwayat Muslim : "Dari Abi Dzar, dia bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah engkau melihat Tuhanmu?" lantas dia menjawab saya hanya sungguh melihat cahaya." (HR. Muslim).

Dia Melihatnya di Sidratul Muntaha
Sidratul Muntaha adalah tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang telah dikunjungi Nabi ketika Mi'raj. Sidratul Muntaha terdapat setelah melewati langit ketujuh, tempat itu batas terakhir malaikat Jibril bisa naik ke langit, Nabi Muhammad SAW secara khusus dipanggil Allah ke Mustawa, waktu kesana Nabi naik sendirian, tidak ditemani Jibril, Nabi SAW menemui Allah, tapi dia tidak melihat Allah secara langsung, dia menerima wahyu di belakang hijab, Nabi berdialog dengan Allah tapi tidak melihatnya, setelah datang perintah Shalat dia turun kembali setiap lapisan langit ketemu dengan Arwah Nabi terdahulu. Wallahu'alam.


Penulis : H. Nofrizal Nawawi, Lc, MPdI.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 29 Tahun Ke-13 9 Sya'ban 1430 H / 13 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Akhlakul Karimah

"Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya." (HR. Ahmad & Al Hakim).

Dari sekian banyak krisis yang melanda bangsa Indonesia saat ini, maka krisis akhlak yang cukup mencemaskan kita. Ada petunjuk, bahwa krisis akhlak (moral) ini sudah melanda semua lini. Ya masyarakat awam, aparatur negara, bahkan juga pejabat. Korupsi masih terjadi, perbuatan maksiat masih merajalela, begitu pula yang ketagihan narkoba.

Akibat semua itu, orang sudah banyak yang meninggalkan agama. Umat Islam sebagian hanya terkontaminasi dengan acara keagamaan yang seremonial, sehingga menghilangkan substansi dan tujuan agama itu sendiri. Sulit bagi kita untuk mencari orang yang berakhlak mulia sebagaimana yang dituntunkan agama Islam.

Sebab akhlak mulia itu merupakan sikap atau perbuatan terpuji di sisi Allah SWT sesuai petunjuk Al Qur'an dan hadist, serta terpuji pula di mata masyarakat. Ada beberapa norma yang harus dijaga sehingga seseorang bisa menyandang predikat berakhlak mulia. Diantaranya norma-norma yang telah digariskan agama serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, semisal adat, budaya dan lain-lain.

Di zaman serba canggih saat ini, ada petunjuk dimana orang tak lagi mau berbicara tentang akhlak. Sehingga pergaulan dan sikap sebagian orang tak lagi mengindahkan norma-norma, baik norma agama maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat, seperti adat ataupun budaya.

Kondisi ini mengakibatkan orang menyebutnya erosi pergaulan. Mereka tak lagi mengindahkan etika. Misalnya bagaimana bersikap atau berkata dengan orang yang lebih tua dari kita. Juga usia sama dan yang lebih kecil dari kita. Betapa banyak anak muda berbicara kurang sopan dengan orang tua. Banyak kita baca di surat kabar, seorang anak melawan orang tuanya manakala kehendaknya tak dipenuhi orang tua, bahkan ada yang sampai hati menganiaya orang tua mereka.

Erosi pergaulan ditandai dengan sikap sebagian orang yang hanya mengharapkan keuntungan. Mereka mau bergaul bila ada untungnya. Namun bilamana ada kegiatan kemasyarakatan, mereka segan bergaul. Sungguh orang yang demikian itu, ciri dari mereka yang tidak memiliki akhlak mulia. Meski tampak dari luar sukses, terutama dilihat dari materi, namun ketahuilah, ia pasti tak sukses dalam pergaulan sebenarnya.

Artinya, ia selalu dikucilkan di tengah masyarakat. Ia hanya mau berhubungan dengan orang-orang yang akan memberi keuntungan kepadanya. Sedangkan untuk kegiatan sosial ia tidak mau ikut. Itulah ciri orang yang tidak berakhlak.

Ciri Orang Berakhlak Mulia
Adapun ciri orang yang berakhlak mulia dapat dilihat dari perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Paling tidak ada 4 ciri yang dimilikinya.
1. Budi pekerti (akhlaknya) terhadap Allah SWT. Orang yang berakhlak mulia, akan selalu taat kepada Allah, yang diaplikasikannya dengan ketaatan beribadah.

2. Budi pekerti yang dipraktekkannya dalam dirinya serta keluarganya.

3. Budi pekertinya terhadap lingkungan, baik alam, fauna dan sebagainya.

4. Budi pekerti terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Orang yang berakhlak mulia, hidupnya berguna bagi masyarakat disekitarnya.

Apabila ciri-ciri tersebut dimiliki seseorang, maka Insya Allah hidupnya akan bahagia, baik di dunia maupun di akherat kelak.


Penulis : Ibnu Syairy.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 29 Tahun Ke-13 9 Sya'ban 1430 H / 13 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Senin, 14 Juni 2010

Ensiklopedi - Mu'amalah

Mu'amalah artinya bergaul, berinteraksi dengan orang lain, bermu'amalah.

Menurut syara' Mu'amalah ialah : beberapa aturan syara' yang mengatur hubungan manusia sesama manusia tentang urusan kehidupan dunia.

Manusia secara fitrahnya dijadikan Allah sebagai makhluk sosial, satu sama lainnya saling membutuhkan dengan rahman dan rahimnya Allah agar hubungan manusia sesama manusia berjalan baik sehingga bisa membentuk satu masyarakat yang rukun damai, maka diaturnya hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah seperti aturan jual beli, pagang gadai, simpan pinjam, sewa menyewa, utang piutang, tijaroh (perdagangan) perusahaan pesero (syirkah) dan bentuk-bentuk lain yang termasuk aturan hubungan manusia dengan yang lain. Berkembangnya ilmu pengetahuan berkembang pula bentuk mu'amalah yang ada dalam kehidupan ummat, seperti sistem Ekonomi Islam, Bank Syari'ah, Asuransi Syari'ah dan lain-lain.

Mu'amalah juga berbentuk tolong menolong dalam menata kehidupan bermasyarakat yang saling membutuhkan satu sama lainnya, seperti adanya koperasi atau BMT (Baitul Ma! wattamwi!) merupakan lembaga keuangan masyarakat dengan skala kecil, semuanya itu tentu harus di atur sesuai dengan prinsip dasar islam dalam masalah kebutuhan yaitu Halalan Toyyiban.

Cabang Iman 70 Lebih
"Iman itu tujuh lebih dar 70 cabang atau lebih dari 60 cabang, maka yang paling utama darinya adalah : "LAILAHA ILLALLAH" Dan yang paling enteng darinya adalah membuang gangguan yang ada dijalan, dan malu (berbuat jahat) itu adalah salah satu cabang iman."

Keterangan : Berdasarkan hadist shahih riwayat Muslim yang diterima oleh Abu Hurairah dari Rasulullah, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tentang cabang iman, maksudnya iman itu banyak sekali cabangnya dan banyak sekali perbuatan amal baik merupakan cerminan seseorang beriman, kunci utama dan paling tinggi terletak pada kalimat tauhid Lailahaillallah yang merupakan cerminan iman dalam kepribadian seorang muslim, membuang gangguan dijalan umum seperti duri, kotoran dan lain-lain, yang dilakukan dengan ikhlas adalah cerminan keimanan seseorang, begitu juga rasa malu kalau berbuat jahat.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 52 Tahun Ke-13 22 Muharram 1431 H / 8 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Mujahadah

Mujahadah ialah selalu bersungguh-sungguh dalam setiap amal. Sekecil apapun amal yang kita lakukan. Suatu perbuatan baik akan melekat pada diri seseorang manakala mereka mempunyai i'tikad/keinginan untuk berbuat kebaikan, menjadilah dia kebiasaan. Oleh karena itulah maka kita dituntut untuk selalu berjuang (mujahadah) melawan keinginan-keinginan jahat/destruktif yang dapat melupakan kita terhadap perbuatan-perbuatan yang baik/konstruktif.

Sebaliknya perbuatan jahat itu juga akan muncul kapan saja dan dimana saja menimpa manusia. Itupun juga kembali kepada keinginan seseorang. Apabila hatinya/nafsunya terjebak untuk memperturutkannya maka mereka akan terbiasa hidup dalam kejahatan/kemaksiatan. Maka dari itu untuk menghindari kebiasaan buruk ini juga dituntut berjuang melawannya.

Kebaikan dan kejahatan adalah fenomena yang keduanya akan selalu mengikuti perjalanan manusia, dan akan selalu mempengaruhi kehidupan. Karena itu Allah SWT memberikan ilmu dan agama, agar dengan alat tersebut manusia dapat memilihnya mana yang baik dan berakibat baik pada kehidupannya, yang baik tapi berakibat buruk bagi kehidupan dan yang buruk tetapi dapat berakibat baik. Mengapa demikian? Sebab penilaian terhadap sesuatu apabila hanya didasarkan kepada hawa nafsu hasilnya akan menjadi sangat subyektif.

Oleh karena itulah Allah SWT dalam menganjurkan manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan sebagaiamana keterangan surat Al Isra' ayat 7 : "Apabila kamu berbuat baik, sejatinya kebaikan itu untuk dirimu sendiri, dan apabila kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu kembali pula kepadamu." Dalam hal ini Allah menggunakan bahasa filosofis dan sosiologis. Itu semata-mata adalah agar bagaimana manusia dapat menggunakan akal sehat dan daya nalarnya untuk menerima dan meninggalkan sesuatu dengan kesadaran dan keikhlasan tanpa adanya paksaan.

Allah menjamin otoritas manusia untuk menjatuhkan pilihannya dan Dia hanya menunjukkan rambu-rambu kehidupan. Apabila manusia memilih beriman dan berbuat ikhsan/kebaikan maka Allah SWT akan mempahalainya, dan jika mereka memilih kufur dan berbuat kejahatan dia sendiri pulalah yang akan menanggung resikonya.

Mari berjihad "fi sabilillah". Berjihad sungguh-sungguh di jalan Allah.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 52 Tahun Ke-13 22 Muharram 1431 H / 8 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Iman dan ujian

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan "Kami telah beriman", padahal mereka tidak di uji?" (QS. Al Ankabuut : 2).

Asbabun nuzulnya (sebab sebab) turunnya ayat ini adalah sebagai berikut : ketika seorang laki-laki bernama Muhya (bekas budak Umar bin Khattab) yang telah memerdekakannya dan masuk Islam dan turut bertempur dalam perang Badar. Ia terkena panah musuh sehingga tewas. Dialah korban pertama dalam perang Badar. Setelah berita itu sampai pada ibu bapak dan istrinya, maka mereka sangat berduka cita. Tatkala berita disampaikan kepada Rasulullah, maka secara spontan keluar ucapan beliau Muhya adalah pelopor kaum (syuhada) mati syahid. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Muhya adalah orang pertama masuk Syurga.

Pengertian ayat di tersebut (AHASIBANNAS) menurut pramasastra bahasa Arab dinamakan ISTIFHAM INKARI. Yaitu dirumuskan dalam suatu bentuk pernyataan yang didalamnya sudah ada jawaban yang pasti. Dengan rumusan yang tidak memakai pernyataan bahwa ayat itu mengandung pengertian "Sudah Pasti" bahwa manusia itu tidak akan dibiarkan begitu saja mengatakan kami telah beriman, padahal mereka tidak di uji. Kalimat-kalimat yang disusun dengan memakai "istifham inkari" banyak dijumpai di dalam Al Qur'an. Hal ini adalah menunjukkan keindahan bahasa Al Qur'an.

Hukum kepastian itu yang biasa juga disebut Sunatullah, telah terbukti dalam kehidupan bangsa-bangsa terdahulu. Tujuan pokok dari ujian yang diberikan Allah adalah untuk mengetahui mana yan benar dan mana yang salah. Misalnya iman yang benar itu mereka rela berkorban dengan tenaga, fikiran dan harta benda, bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun seperti para pahlawan-pahlawan perang Badar dan lain-lain. Ada pula yang pura-pura beriman, mereka mengatakan seperti orang yang beriman, padahal kenyataannya menghalang-halangi orang berbuat baik. Misalnya mempengaruhi orang yang suka berinfak, sedekah atau zakat. Untuk apa membantu orang yang tidak berjasa kepada kita, kita susah payah mencari uang, lantas akan diberikan cuma-cuma kepada orang lain, padahal mereka belum tentu akan menolong kita. Ada lagi manusia yang terombang-ambing, kemana angin bertiup (pucuk aru). Orang yang seperti ini kualifikasi Prof. Mahmud Saltut, mereka shalat, puasa, berdiri dalam barisan yang benar. Tetapi apabila situasi berobah, tantangan imannya dirasakan berat, maka tidak segan-segannya mereka pindah perahu.

Sikap orang yang seperti ini dapat diumpamakan seperti mentalitas sebagian yang dapat dilihat dalam sejarah revolusi Indonesia. Di zaman penjajahan mereka lebih Belanda dari Belanda yang sebenarnya. Di zaman Jepang mereka menepuk dada seperti pahlawan Asia untuk bangsa Asia, dan memaki-maki Belanda. Datang Proklamasi Kemerdekaan, maka iapun tampil sebagai pejuang Republik. Ketika rezim demokrasi terpimpin memberi angin kepada Komunis, merekapun berangkul-rangkulan pula dengan gagasan NASAKOM (Kerjasama Nasionalis, Islam dan Komunis). Tatkala kekuatan itu tumbang dan kemudian muncul ORDE BARU maka dia pula lagi meloncat sebagai pahlawan penyelamat, merasa diri ORBA dan ORBA yang sebenarnya.

Laksana Pohon Besar
Dari tiga macam sifat dan sikap manusia tersebut dapat kita jadikan pelajaran untuk memantapkan keimanan dan keyakinan kita dalam mengahadapi ujian iman. Gambaran orang-orang yang benar imannya itu dinyatakan Allah dalam Al Quran : "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu Tuhan kami (Robbunallah) kemudian mereka berpendirian teguh, maka Malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) : "Jangan kamu takut dan jangan kamu berduka cita dan terimalah berita gembira memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepada kamu."Kami (kata Allah) menjadi pelindung kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat". (QS. Fushshilat : 30-31).


Contoh lain pendirian orang yang beriman itu bagaikan sebatang pohon yang besar yang dinyatakan dalam QS. Ibrahim : 24-45 : "Tidakkah engkau lihat bagaimana Tuhan membuat suatu perumpamaan suatu kalimat Thoyyibah (ialah iman) laksana sebuah pohon yang besar, uratnya teguh (akarnya menghujam ke bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Menghasilkan makanan (buah) setiap masa dengan izin Tuhan."

Orang yang beriman itu besar manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saling tolong menolong dengan tidak membedakan ras dan suku, dalam hal kemanusiaan, sosial masyarakat yang dibalut dengan akhlakul karimah.


Penulis : H.A. Suhaimi Usman.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 52 Tahun Ke-13 22 Muharram 1431 H / 8 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Al Yamiin

Al-Yamiin terambil dari kata Yamuna, artinya sebelah kanan, kata Yamiin (kanan) digunakan untuk istilah sumpah karena biasanya orang yang bersumpah dengan orang lain di saat itu dia memegang tangan kanan lawannya.

Menurut syara' Al-Yamin adalah ungkapan kata untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau mempertegasnya dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya.

Diantara ayat Al Qur'an menyebutkan masalah sumpah, Surat Al-Maidah ayat 89 : "Dan peliharalah sumpah-sumpah kamu, seperti itulah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayatnya, mudah-mudahan kamu bersyukur".

Al-Yamin atau sumpah diistilahkan juga dalam bahasa Arab dengan al-halaf, seseorang tergolong bersumpah kalau dia berniat dengan ungkapan katanya bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk mempertegas sesuatu yang disampaikannya, dalam ajaran Islam bersumpah hanya dibolehkan dengan nama Allah dengan kata : Wallah atau Tallah atau Billah artinya : Demi Allah, tidak boleh bersumpah dengan nama seseorang atau salah satu benda, sahnya sumpah disyaratkan orang yang bersumpah sudah baligh, berakal Islam, dan tidak terpaksa.

Orang bersumpah harus menunaikan apa yang disumpahkannya, bagi yang melanggarnya harus membayar kafarat sumpah (denda melanggar sumpah) sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 89, dengan cara memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mampu melakukannya maka diganti dengan puasa tiga hari.

Bersumpah hanya dengan nama Allah atau Sifat-Nya
"Janganlah kamu bersumpah dengan nama ayah-ayah kamu, ibu-ibu kamu dan jangan pula dengan Tuhan yang berbilang (tempat yang dikeramatkan) dan jangan kamu bersumpah kecuali dengan nama Allah dan jangan bersumpah kecuali kamu dalam keadaan benar."

Keterangan : Berdasarkan hadist Riwayat Abu Daud dan An Nas'i yang diterima dari Abi Hurairah. Boleh bersumpah dalam keadaan tertentu untuk mempertegas ungkapan kita atau untuk menyakinkan seseorang tentang kebenaran apa yang dikatakan, dengan ketentuan sumpah hanya dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya dan tidak boleh bersumpah dengan nama atau benda lain.



Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 54 Tahun Ke-13 6 Shafar 1431 H / 22 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Jaga mulut

"Mulutmu adalah harimaumu". Demikian bunyi peribahasa yang melukiskan bagaimana pengaruh dari perkataan yang keluar dari mulut kita. Dari mulut akan keluar fitnah, adu domba, serta provokator, yang bisa berlanjut jadi adu jotos. Baru-baru ini kita menyaksikan tayangan televisi yang memperlihatkan adu mulut sesama anggota pansus angket Century. Meski akhirnya berdamai, namun konon kabarnya berlanjut ke ranah hukum.

Rasulullah SAW berpesan kepada kaum muslimin agar memelihara mulut. Tidak memperbanyak pembicaraan, kecuali yang jelas mengandung maslahat. Manakala berbicara dan diam sama dalam mendatangkan kemaslahatan, maka berdiam diri lebih baik. Sebab berbicara kadang-kadang menyeret kepada hal-hal terlarang atau kepada yang tidak disenangi. Nabi bersabda : "Seseorang mengucapkan perkataan yang tidak jelas baginya, dia akan tergelincir akibat ucapannya itu ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara Timur dan Barat." (HR. Bukhari-Muslim.

Mulut sekalipun anggota badan yang paling kecil, namun bahaya yang ditimbulkan lebih besar dan dahsyat. Kejelekkannya jauh lebih cepat menjalarnya manakala tidak dikendalikan dengan dzikir dan ketaqwaan. Betapa banyak orang yang berkedudukan tinggi seperti DPR, MPR, Pejabat Pemerintah jatuh terperosok akibat ucapan/pernyataannya. Sebab pernyataannya menimbulkan fitnah dan permusuhan di antara manusia.

Apa-apa yang keluar dari mulut akan mewarnai kehidupan. Apabila yang keluar baik, maka akan membawa dampak yang baik, namun jika yang keluar tidak baik, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan. Oleh sebab itu, keselamatan kehidupan adalah bersumber dari mulut/lisan.

Perkataan yang baik adalah ucapan yang berisi ajakan ke jalan Allah dan mengandung nasehat untuk menjadi orang yang bertakwa kepada-Nya, sabar terhadap ujian-Nya dan istiqomah dalam berjuang menegakkan syariat-Nya, serta gemar beramal shaleh.

Sedangkan perkataan yang keji dan kotor adalah perkataan yang suka mencela dan mengutuk, sebab perkataan ini akan menabur dendam, kebencian dan permusuhan.

Sayyidina Ali RA berpesan : "Sungguh aku tak menyukai kalian menjadi kaum pengumpat dan pencaci maki. Tetapi sekiranya kalian menyatakan tentang perbuatan-perbuatan mereka menurut apa adanya dan menyebutkan keadaan mereka sebenarnya, tentunya yang demikian itu lebih tepat untuk dibicarakan dan lebih lebih mengena sebagai kecaman. Sebagai ganti cercaan sebaiknya kalian berkata : "Ya Allah, hentikanlah penumpahan darah kami dan darah mereka. Perbaikilah hubungan antara kami dan mereka! Tunjukkilah mereka jalan keluar dari kesesatan mereka, sehingga kebenaran muncul dalam diri orang-orang yang tadinya tidak mengenalnya; kesesatan dan pelanggaran dihentikan oleh siapa saja yang tadinya amat gemar menjalaninya.""

Lidah itu laksana seekor binatang buas, bila dilepaskan pasti membunuh. Siapa saja yang banyak bicaranya, pasti banyak pula kesalahannya. Siapa saja banyak menggunakan pikirannya, kebenaran akan tampak nyata baginya. Oleh sebab itu hati-hatilah dalam berbicara.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 54 Tahun Ke-13 6 Shafar 1431 H / 22 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Mengaplikasikan islam dalam kehidupan

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al Baqarah : 208).

Seorang Muslim harus memahami Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak secara parsial (juz-i), karena pemahaman yang parsial menyebabkan Islam tidak fungsional kaffah dalam kehidupannya. Islam adalah satu sistem yang menyeluruh (nizham syamil) mencakup seluruh aspek kehidupan, rohaniyah dan jasmaniah, duniawiyah dan ukhrowiyah. Secara garis besar ajaran Islam mencakup aspek :
a. Aqidah : aspek keyakinan tentang Allah, para Malaikat, Kitab-kitab suci, Para Rasul, Hari Akhir dan Taqdir.

b. Ibadah : segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya dalam Al Quran dan Sunnah Rasul, seperti Shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.

c. Akhlak : nilai dan pribadi baik dan buruk, seperti sabar, syukur, tawakkal, birrul walidain, syaja'ah dan sebagainya (akhlak al mahmudah) dan sombong, takabbur, dengki, riya, uququl walidaian dan sebagainya (al akhlak al mazmumah).

d. Mu'amalah duniawiyah : aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.

Dari segi waktu seseorang yang harus menjadi muslim 24 jam sehari semalam. Dengan arti kata dia harus mengislamkan seluruh kehidupannya sampai akhir hayat. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran : 102).

Dari segi ruang lingkup, dia harus mengislamkan kehidupan pribadinya, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dari segi aspek kehidupan, dia harus mengislamkan seluruh aspek kehidupannya seperti aspek ekonomi, politik, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.

Atau dengan bahasa lain, seseorang harus menjadi muslim dalam aqidah, ibadah, akhlak dan mu'amalah.

Kehidupan Pribadi
Aqidah : Tauhid yang benar, Istiqomah (Aqidah salimah wa Mustaqimah) sebagai 'Ibadurrahman sehingga menjadi Muslim, mukmin, muttaqin dan muhsin. Menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber segala kegiatan hidup, menjauhi : Syirik, Bid'ah, takhyul, khufarat dan hal-hal yang menodai iman dan tauhid.

Akhlaq : Meneladani prilaku Rasulullah SAW dalam mempraktekkan akhlak yang mulia, Rasulullah SAW sebagai Uswatun hasanah dan bisa membentuk sifat : Siddiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh.

Dalam melakukan amal dan kegiatan didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal shalih dan ihsan serta menjauhi diri dari perilaku : Riya, sombong, ishraf, fasad, fahsya dan kemungkaran.

Dalam menunaikan tugas dan menjalani kehidupan sehari-hari benar-benar menjauhi perbuatan korupsi, kolusi dan praktek buruk lainnya yang merugikan diri pribadi dan orang lain.

Ibadah : Beribadah sebagai kewajiban utama dalam kehidupan manusia harus dilakukan dengan tuntunan yang shahih dan niat yang ikhlas, sehingga dapat membentuk pribadi yang Muttaqin, shaleh dan membawa ketentraman serta kedamaian hidup.

Laksanakan ibadah Mahdhoh/Khusus dengan sebaik-baiknya, kerjakan yang wajib dengan sempurna dan perbanyak yang nawafil(sunnah).

Dalam Mu'amalah duniawiyah : Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif, dengan landasan iman, islam dan ihsan. Berfikir secara islami yang membuahkan karya-karya dan pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi Hablun minallah dan Hablun minannas serta maslahah bagi kehidupan ummat manusia. Mempunyai etos kerja islami, seperti : kerja keras, disiplin, tidak menyianyiakan waktu, dan optimal dalam mencapai tujuan. Itulah ciri-ciri Muslim yang sebenarnya.


Penulis : H. Nafrizal Nawawi, Lc, MPdI.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 54 Tahun Ke-13 6 Shafar 1431 H / 22 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Hibah (2)

Hibah menurut bahasa berarti pemberian, menurut syara' hibah ialah Aqad pemberian seseorang harta yang dimilikinya kepada orang lain tanpa imbalan.

Dalam kehidupan sehari-hari biasa terjadi seseorang prihatin atau ingin membantu seseorang lain apakah kawan atau saudaranya, maka dia memberikan sebagian hartanya seperti uang, makanan, pakaian, tanah, alat-alat yang berguna bahkan rumah dan lain-lain. Pemberian ini tidak mengharapkan imbalan dan tidak pula karena tujuan tertentu yang ingin dia dapatkan dari orang yang diberinya, maka ini dinamakan hibah.

Hibah hukumnya Mustahabah atau sangat disenangi Allah karena salah satu bentuk ta'awun atau saling menolong dalam kehidupan, satu barang yang telah diberikan kepada orang lain maka kepemilikannya berpindah kepada yang diberi dan tidak boleh lagi diminta, Rasulullah SAW melarang meminta kembali pemberiannya kepada orang lain, kecuali pemberian orang tua kepada anak boleh diminta kembali kalau memang dengan meminta kembali ada maslahatnya, disyaratkan bagi orang yang memberi, bahwa barang yang diberikannya adalah miliknya sendiri dan tidak terkait dengan yang lain, dia telah baligh berakal serta berdasarkan pilihannya sendiri bukan karena terpaksa, dan disyaratkan juga bahwa barang yang diberikan jelas adanya dan bentuknya, maka tidak boleh memberikan yang tidak ada bentuknya dan tidak boleh juga memberikan pahala kepada orang lain. Dalam hibah harus ada Ijab (ungkapan penyerahan) dan Qobul (ungkapan penerimaan).

Larangan meminta kembali hibah
"Orang yang meminta kembali hibahnya (pemberiannya) seperti orang yang kembali menjilat muntahnya."

Keterangan : Berdasarkan Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Abu Daud, menjelaskan bahwa hibah atau pemberian yang telah diberikan tidak boleh diminta kembali, karena orang yang meminta kembali hibahnya sama dengan orang yang menjilat atau memakan kembali muntah yang dimuntahkannya, hanya boleh meminta kembali pemberian kepada anak, kalau ada maslahatnya.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 56 Tahun Ke-13 20 Shafar 1431 H / 5 Februari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Sekularisme

Faham sekuler merupakan salah satu faham yang bertentangan dengan syari'at islam. Sebab faham sekular ini memisahkan agama dengan kegiatan-kegiatan umat, sedangkan menurut syari'at Islam, agama harus melandasi semua kegiatan umat. Islam adalah agama yang paripurna, yang mengatur semua bidang kehidupan para manusia. Baik itu di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan pemerintahan.

Usaha-usaha sekularisme secara radikal tersebut benar-benar menjadi gerakan para modernis yang anti agama. Sebagai contoh keputusan untuk memisahkan gereja dengan pemerintahan yang terjadi di Chili pada tahun 1925, juga terjadi pada negara-negara Amerika Latin lainnya. Di Turki pada tahun 1928 yang sebelumnya menempatkan syari'at Islam sebagai konstitusi negara Kemal Artaturk telah berusaha melakukan penghapusan keseluruhan syari'at diganti dengan ketentuan hukum sekuler yang didasarkan pada model-model Eropa yang membawa pukulan maut bagi negara Islam lainnya.

Tidak hanya itu saja rejim-rejim imperialis Barat di Asia dan Afrika telah berperan sebagai pelaku tangguh sekularisme. Kekuasaan-kekuasaan Barat memecat para Raja sakral, menggantikan hukum pidana Islam dengan ketentuan-ketentuan hukum sekuler, melumpuhkan lembaga-lembaga ekonomi sakral mengganti dengan sistem kapital, membelokkan sistem pendidikan sakral dengan memperkenalkan sekolah-sekolah pemerintah yang sekuler. Kenyataan tersebut benar-benar dialami oleh Negara-Negara berkembang, baik di Asia maupun di Afrika.

Propanganda dan kampanye besar-besaran dengan alasan untuk pertumbuhan dan perkembangan sains dan teknologi disebarluaskan dengan media yang serba canggih dilakukan oleh kalangan liberal dan komunis agar supaya ummat manusia meninggalkan mitologi agama yang oleh mereka dianggap sebagai candu yang menghalangi kemajuan teknologi.

Gerakan sekularisme yang mereka lakukan secara sistematis dan profesional tersebut benar-benar menjadi malapetaka bagi kalangan agamawan yang akhirnya benar-benar mengalami kekalahan yang telak.

Tuduhan-tuduhan para tokoh sekuler yang dimobilisir oleh kalangan yang anti agama terhadap nilai-nilai agama sebagai penghalang kebebasan dan kemajuan benar-benar mendapat tempat di hati para Nasionalis, priyai dan Islam Abangan. Mereka menjadi kelompok yang paling setuju dipisahkannya urusan agama dengan negara/pemerintahan.

Secara konstitusional Indonesia sebenarnya adalah negara yang berdasarkan atas agama, karena dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal 29 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Siapapun yang merasa sehat akalnya jika membaca teks konstitusi UUD 1945 tersebut pasti akan mengatakan dan menyimpulkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara agama dan menolak faham yang anti agama.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 56 Tahun Ke-13 20 Shafar 1431 H / 5 Februari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Iptek dan imtak harus seimbang

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujaadillah : 11).

Pembangunan nasional kita, adalah pembangunan manusia seutuhnya, yakni pembangunan fisik-material dan pembangunan bidang mental spiritual. Pembangunan kedua bidang ini harus seimbang, sehingga pencapaian masyarakat yang adil-makmur, akan cepat terwujud.

Pembangunan fisik-material yang di dalamnya tercakup pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak langsung terhadap perkembangan masyarakat termasuk "kesalehan" dan "ketaatan" umat. Lebih-lebih masyarakat berhadapan pula dengan keterbukaan arus informasi yang bersifat global, sehingga menimbulkan goncangan semakin hebat.

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga terasa mempengaruhi tata krama, akhlak, serta pandangan (visi) manusia Indonesia, terutama para generasi penerus kita.

Paradigma tata nilai masyarakat, khususnya umat islam ini, harus diantisipasi dengan (Imtak) yang mewujudkan manusia yang taat dan shaleh, merupakan modal dasar dalam pembangunan manusia seutuhnya. Tanpa imtak manusia dalam kehidupannya akan rapuh dan keropos. Manusia yang rapuh dan keropos, jelas tidak akan mampu membangun, mulai dari rumah tangganya, hingga membangun bangsa dan negara ini.

Ajaran Islam tidak melarang penganutnya untuk menguasai Iptek. Bahkan sebaliknya, seorang muslim harus menguasai ilmu pengetahuan yang banyak. Ayat pertama dalam Al Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dimulai dengan perintah "membaca".

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al Alaq : 1-5).

Allah telah menggariskan, bahwa dengan tulis (kalam) dan baca, manusia akan memiliki ilmu. Manusia yang berilmu "Teknologi" yang canggih sekarang ini, diakui atau tidak telah membawa banyak "kemungkinan". Kemungkinan itu sekarang tidak lagi datang dijalanan di luar rumah, tetapi telah menyelinap masuk kamar atau rumah tangga kita masing-masing. Yang jadi sasaran serangan dari pengaruh teknologi canggih ini, adalah benteng keimanan yang ada dalam dada masing-masing pribadi kaum muslimin Indonesia akan punya wawasan dan pikiran yang luas. Untuk itulah, seorang muslim harus punya ilmu pengetahuan yang banyak, Rasulullah telah mengisyaratkan dalam salah satu hadistnya : "Dengan ilmu, manusia akan mencapai kebahagian di dunia. Dengan ilmu juga manusia akan mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Dan dengan ilmu pula akan bisa mencapai kedua-duanya."

Iman dan Takwa
Namun demikian, di samping memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia juga dituntut untuk selalu ingat (zikir) dengan Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Maksud "ingat" pada Allah disini adalah melaksanakan segala perintah-Nya, dan meninggalkan segala perbuatan yang dilarang-Nya. Untuk ingat dengan Allah itu, dada kita haruslah diisi dengan rasa keimanan dan ketakwaan. Iman itu artinya percaya akan kekuasaan serta kebesaran Allah, dan takwa itu artinya enggan untuk berbuat yang dimurkai-Nya.

Perkataan takwa itu berasal dari bahasa Al Quran terambil dari akar kata "waqad" atau "ittaqa", yang menurut ilmu bahasa Arab antara lain berarti : takut, memelihara, menjaga, dan menjauhi. Bertakwa kepada Allah berarti memelihara dan menjaga diri dari perbuatan yang dimurkai Allah.

Adapun maksud takwa menurut syari'at Islam seperti yang dirumuskan oleh Pro Afif At Tabbarah di dalam bukunya "Ruhud dienil islami" ialah : "Manusia takut (untuk melaksanakan) hal-hal yang dimurkai Allah SWT, dan takut kepada hal-hal yang merusak diri sendiri dan hal-hal yang merusak kepada orang lain." Jadi takwa itu mengandung tiga unsur.

Pertama, menjauhkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah. Kedua, menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan (mendatangkan mudarat) kepada diri sendiri. Dan ketiga, menjauhi perbuatan-perbuatan yang akan merusak atau merugikan orang lain.

Bila kita amati dan teliti, hebat sekali orang yang telah menyandang predikat takwa (muttaqin). Itulah sebabnya di dalam Al Quran tidak sedikit imbauan dan seruan, agar manusia selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, banyak-banyak ingat kepada Allah. Kuncinya, harus taat menjalankan syari'at agama. Dan itu pulalah sebabnya, tidak kurang dari 79 kali di dalam Al Quran, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman, untuk selalu bertakwa kepada-Nya.

Apabila kita sudah mengamalkan semuanya itu, berarti kita sudah termasuk orang yang memiliki iptek dan imtak. Hanya orang-orang yang menguasai iptek dan imtak, yang akan memperoleh kehidupan yang bahagia di dunia dan bahagia di akherat kelak. Dan akan terkabullah doa yang selalu kita ucapkan : "Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan hidup di dunia, dan kebahagiaan hidup di akhirat serta hindarkan kami dari siksaan api neraka."


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 56 Tahun Ke-13 20 Shafar 1431 H / 5 Februari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Menghidupkan budaya malu

"Apabila perzinahan dan riba telah melanda suatu negeri maka mereka (penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah." (HR. Athabrani dan Al Hakim).

Membaca surat kabar lokal beberapa bulan terakhir ini, kita jadi prihatin. Tiada hari tanpa berita kriminal dan maksiat. Yang namanya kasus perkosaan selalu menghiasi halaman surat kabar. Ada berita tentang seorang ayah menghamili anak kandung. Ada gadis belita yang diperkosa siswa SLTP. Dan lain sebagainya.

Kita tak habis pikir, kenapa orang tega berbuat demikian. Dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak berwajib, motifnya karena tidak bisa mengendalikan dorongan hawa nafsu.

Tapi bila kita amati, ada faktor lain sebagai penyebabnya. Yakni tidak adanya "rasa malu". Seorang kakek yang menurut istilah anak muda sekarang sudah bau tanah (maksudnya sudah dekat ke kubur, pen), tidak malu berbuat kurang senonoh dengan bocah cilik. Seorang ayah tega menggauli anak tirinya yang justru harus dilindungi serta dididiknya. Begitu pula kakak-beradik sudah tidak malu secara bersama-sama memperkosa seorang gadis di bawah umur.

Akibat yang ditimbulkan oleh hilangnya "rasa malu" ini bukan hanya membuat angka kasus pemerkosaan meningkat, tetapi juga kasus kriminal lainnya semisal pembunuhan, penganiyaan, pencurian dengan kekerasan, penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Kita baca di surat kabar dan majalah tentang kasus pembunuhan yang terjadi di daerah ini cukup tinggi. Tersinggung sedikit karena omongan, orang tega menghabisi nyawa seseorang.

Juga ada petugas keamanan suatu perusahaan ikut menjadi otak pencurian alias "pagar makan tanaman". Seorang pejabat yang kita nilai memiliki pangkat yang tinggi dan terhormat justru terlibat penyelewengan alias korupsi.

Juga ada yang sudah tergolong pimpinan, tidak malu atas kegagalan-kegagalan yang dilakukannya selaku pimpinan. Jika di negara-negara maju seorang menteri mundur karena kebijaksanaannya dianggap gagal. Tetapi kita jangankan mundur, dikritik saja sudah naik darah dan mencak-mencak.

Kesemuanya itu tidak terlepas dari menipisnya rasa malu. Mereka tak malu lagi dengan anak-istri, tetangga, masyarakat, apalagi dengan Tuhan. Menipisnya rasa malu itu terjadi di kalangan masyarakat menengah ke bawah dan atas.

Dalam ajaran agama Islam, sifat malu itu ditekankan benar. Sebab sifat malu salah satu penyangga dalam mewujudkan pengedalian diri, untuk berbuat keji. Rasa malu akan menghindarkan seseorang dari godaan hawa nafsu.

Bentend Diri
Beberapa pakar di bidang sosial dan agama berpendapat, sifat malu itu merupakan "benteng diri" dalam menangkal godaan untuk berbuat kurang baik. Orang yang memiliki perasaan malu, tidak akan mau berbuat sesuatu yang melanggar hukum, atau melanggar norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat.

Di Sumatera Barat atau Ranah Minang, yang terkenal dengan adatnya bersendikan "syara" (hukum agama), dan "syara' bersendikan Kitabullah (Al Quran)", rasa malu sangat penting bagi masyarakatnya.

Pada dasarnya masyarakat sangat takut berbuat sesuatu yang bisa membuat malu. Sebab rentetannya panjang. Jika seorang warga berbuat sesuatu yang kurang baik, maka orang sekampung akan membicarakannya. Wah, anak si Anu, kemenakan si Anu, dari suku Anu telah berbuat tak senonoh. Jadi si pelaku akan diketahui anak dari siapa, kemenakan siapa, dan dari suku mana. Sehingga si pelaku telah membuat jelek orang tua, menjelekkan "mamaknya", dan telah menjelekkan "sukunya". Yang malu bukan Si pelaku saja, tetapi orang tua, penghulu, dan sukunya. Yang pasti si pelaku akan jadi gunjingan di mana-mana.

Para pengamat sosial menilai, rendahnya angka kriminal di Sumatera Barat, salah satu penyebabnya adalah tebalnya rasa malu di kalangan masyarakatnya.

Tak dapat dipungkiri, rasa malu merupakan bagian penting dari perilaku (akhlak) manusia. Iman seseorang akan kuat bila di dalam dirinya ada rasa malu. Dan iman akan goyah bila rasa malu sudah menjauh dari dirinya.


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 08 Tahun Ke-14 19 Rabiul Awal 1431 H / 05 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...