Jumat, 11 Juni 2010

Ensiklopedi - Kafir

Kufur (kafir) menurut bahasa berarti menutup, tertutup, ingkar
Menurut Syara' : Orang yang tidak beriman dengan Allah Tuhan yang wajib disembah dan Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad SAW Nabi dan Rasul Allah yang terakhir. Menurut Sayyid Qutub : Manusia ini hanya dua macam muslim atau kafir, orang kafir adalah selain orang Islam.

Kafir itu ada dua bentuknya :
1. Kafir Akbar : ialah orang non Islam, atau melakukan perbuatan yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, diantaranya membohongi kebenaran ajaran Islam, enggan dan sombong terhadap kekuasaan Allah, ragu akan kebenaran ajaran Islam dan berpaling serta tidak mau melaksanakan perintah Allah.

2. Kafir Ashghar : disebut juga dengan kufur amali, yaitu orang Islam yang tidak mengamalkan ajaran Islam serta bergelimang dengan perbuatan yang dilarang Allah. Kafir Amali ini (Kafir Ashghar) tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, tetapi termasuk orang yang berdosa besar, contohnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Mencaci (mencela) orang Islam adalah fasiq dan membunuhnya adalah kufur." (HR. Bukhari dan Muslim).

Membunuh orang Islam tergolong kufur ashghar (Amali) tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam tetapi berdosa besar dan orangnya harus dilaksanakan Qishas terhadapnya. Sebagian ulama membagi kafir dua macam :
a. Khufur harbi : Orang kafir yang mengganggu dan memusuhi Islam, orang ini harus dilawan oleh ummat Islam.
b. Kufur Dzimmi : Orang kafir yang mau hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak mengganggu serta tidak memusuhi orang Islam dan tidak menentang ajaran Islam, orang ini harus diperlakukan dengan muamalah duniawiyah menurut semestinya.

Bersumpah Dengan Selain Allah
"Bersabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah maka sesungguhnya dia kufur (kufur amali) dan telah melakukan perbuatan syirik." (HR. Turmidzi dan Perawi yang Jima dan dishahihkan oleh Hakim).



Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 09 Tahun Ke-14 26 Rabiul Awal 1431 H / 12 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Membenahi Krisis Akhlak

"Dua sifat tidak akan bertemu dalam diri seorang mukmin yaitu kikir (bakhil) dan akhlak yang buruk". (HR. Ahmad).

Belakangan ini beberapa pengamat media menilai akhlak bangsa ini sebagian sudah rusak. Ada petunjuk, sebagian orang sudah tidak lagi menghiraukan etika, aturan, budaya masyarakat serta perundang-undangan yang berlaku. Aksi demo sudah ada yang menjurus anarkis. Tawuran terjadi dimana-mana. Bahkan para wakil kita di DPR-RI sudah terbiasa cekcok mulut. Dalam sidang paripurna dalam mengambil keputusan tentang hasil panitia angket Bank Century. Kita jadi prihatin menyaksikan prilaku mereka di televisi. Sungguh memalukan.

Kenapa hal-hal seperti di atas terjadi? Padahal mereka orang-orang terpelajar. Barangkali benar juga komentar pengamat, bahwa sebagian bangsa ini akhlaknya sudah rusak kita tidak dilanda krisis ekonomi, tapi juga krisis akhlak.

Kata akhlak terambil dari Bahasa Arab. Secara istilah akhlak adalah perilaku serta moral (budi pekerti). Dan secara syar'i akhlak adalah sikap yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama manusia, serta lingkungan. Bersikap yang baik dan mulia terhadap ketiga unsur tersebut, itulah yang disebut akhlak mulia (akhlakul karimah).

Dari sekian banyak krisis yang melanda bangsa Indonesia saat ini, maka krisis akhlak yang cukup mencemaskan kita. Ada petunjuk, bahwa krisis akhlak (moral) ini sudah melanda semua lini. Ya masyarakat awam, aparatur negara, bahkan juga pejabat. Korupsi masih terjadi, perbuatan maksiyat masih merajalela, begitu pula yang ketagihan narkoba.

Akibat semuanya itu, orang tersebut sudah banyak yang meninggalkan agama Umat Islam, sebagian hanya terkontaminasi dengan acara-acara keagamaan yang seremonial, sehingga menghilangkan substansi dari tujuan agama itu sendiri. Sulit bagi kita untuk mencari orang yang berakhlak mulia sebagaimana yang dituntunkan agama Islam.

Sebab akhlak mulia itu merupakan sikap atau perbuatan terpuji di sisi Allah SWT, sesuai petunjuk Al-Quran dan Hadist, serta terpuji pula di mata masyarakat. Ada beberapa norma yang harus dijaga sehingga seseorang bisa menyandang predikat berakhlak mulia. Diantaranya norma-norma yang telah digariskan agama serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, semisal adat, budaya dan lain-lain.

Orang yang berakhlak mulia selalu bersikap arif dan bijaksana, tutur katanya baik, tak pernah menyakiti hati orang, serta berguna bagi masyarakat.

Sikapnya di rumah tangga baik, begitu pula dalam bertetangga, serta bergaul di tengah-tengah masyarakat. Adalah hal yang ironis apabila seorang muslim tak pernah bergaul dengan masyarakat atau dengan tetangga.

Seorang muslim harus berakhlak mulia. Acuannya adalah akhlak Rasulullah SAW. Akhlak Rasulullah SAW merupakan suri tauladan (uswah) umat manusia.

Ciri Orang Berakhlak Mulia
Adapun ciri orang yang berakhlak mulia dapat dilihat dari prilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Paling tidak ada 4 ciri yang dimilikinya :
1. Budi pekerti (akhlaknya) terhadap Allah SWT. Orang yang berakhlak mulia, akan selalu taat kepada Allah, yang diaplikasikannya dengan ketaatan beribadah.

2. Budi pekerti yang dipraktekkannya dalam dirinya serta keluarganya.

3. Budi pekertinya terhadap lingkungan, baik alam, fauna dan sebagainya.

4. Budi pekerti terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Orang yang berakhlak mulia hidupnya berguna bagi masyarakat disekitarnya.

Apabila ciri-ciri tersebut dimiliki seseorang, maka insya Allah hidupnya akan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.


Penulis : HM. Syair.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 09 Tahun Ke-14 26 Rabiul Awal 1431 H / 12 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Masalah Wudhu'

"Sesungguhnya Usman meminta air untuk berwuduk. Maka dicucinya kedua telapak tangannya tiga kali, lalu ia berkumur-kumur, menghisap air (memasukkan air ke dalam hidung) serta menyemburkannya keluar. Kemudian membasuh mukanya tiga kali, membasuh tangan kanan hingga siku sebanyak tiga kali dan tangan kiri seperti itu pula, lalu mengusap kepala, kemudian ia membasuh kaki sebelah kanan hingga dua mata kaki sebanyak tiga kali dan yang kiri seperti itu pula. Kemudian Usman berkata, "Aku melihat Rasulullah berwudluk seperti wuduk aku hari ini." (HR. Bukhari - Muslim).

Hadist yang telah dikemukakan di atas sesungguhnya sekaligus menjelaskan kaifiat (tatacara) dan rukun wuduk yang dilakukan oleh Rasulullah, yang urutannya adalah sebagai berikut :

1. Diawali dengan niat yang merupakan pernyataan dalam hati akan diulainya perbuatan. Niat merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kaitannya dengan keabsahan suatu perbuatan (ibadah). Rasulullah bersabda : "Sesungguhnya semua amal perbuatan itu bergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya seseorang akan (memperoleh) sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Jamaah).

2. Membaca basmalah ketika mengawali wudlu. Rasulullah bersabda : "Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim akan terputus (tidak mendapat berkah)."

3. Mencuci kedua telapak tangan dengan air sebanyak tiga kali. Hal ini didasarkan pada Hadist Usman ketika dia berwudlu dia membasuh kedua telapak tangannya dengan air sebanyak tiga kali.

4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung. Rasulullah ketika akan berwudlu selalu berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung sebanyak tiga kali. Hal ini didasarkan pada hadist berikut ini : ".....kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) sebanyak tiga kali." (HR. Abu Daud).

5. Membasuh muka tiga kali dengan mengusap dua sudut mata serta mengusap janggut dengan mensela-selakan jari. Hal ini didasarkan kepada Hadist Nabi berikut ini : "....Kemudian ia (Usman) membasuh mukanya tiga kali..." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Adalah Rasulullah mensela-selai janggutnya ketika berwudlu." (HR. Turmuzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Darul Quthni dan al-Hakim).

6. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku sebanyak tiga kali dengan mendahulukan tangan kanan, kemudian tangan kiri. Hal ini didasarkan Hadist berikut ini : "....Kemudian ia (Usman) membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali, kemudian tangan kiri seperti demikian pula." (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Mengusap/menyapu kepala dimulai dari depan hingga ke belakang (sampai kuduk, tengkuk), hingga kemudian mengembalikannya ke depan seperti permulaan dan hal ini dilakukan satu kali saja. Rasulullah bersabda : "Bahwasanya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, dimulai dari depan hingga belakang (tengkuk, kuduk) kemudian mengembalikannya dari belakang ke depan seperti pada permulaannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

8. Mengusap kedua telinga.
Mengusap kedua telinga ini, bagian luarnya dengan ibu jari dan bagian dalamnya dengan telunjuk. Rasulullah bersabda berikut ini : "....Kemudian, beliau mengusap kepalanya sembari kedua jari telunjuknya dimasukkan ke dalam kedua lubang telinganya, telinga bagian luar beliau usap dengan kedua ibu jarinya, sedangkan bagian dalam telinganya dibersihkan dengan kedua telunjuknya." (HR. Abu Daud).

9. Mencuci kedua kaki
Sebagai akhir dari pekerjaan wudlu adalah mencuci kedua kaki, dimulai dari ujung kaki dan telapak hingga dua mata kaki sampai bersih sebanyak tiga kali dengan diawali dari kaki kanan dan disudahi di kaki kiri. Hal ini didasari pada Hadist Usman sebagaimana telah disebutkan di atas. "....Kemudian ia (Usman) membasuh kaki kanannya hingga dua mata kakinya sebanyak tiga kali dan kaki kiri seperti demikian pula." (HR. Bukhari dan Muslim).

10. Setelah selesai berwudlu, dianjurkan membaca syahadat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut : "....Tidak ada seorangpun dari kamu yang berwudlu dengan sempurna lalu (melainkan) mengucapkan : Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, melainkan dibukakan pintu syurga yang delapan, yang ia dapat memasukinya darimana saja ia suka." (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud).


Penulis : Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 10 Tahun Ke-14 03 Rabiul Akhir 1431 H / 19 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

Ensiklopedi - Jahiliah

Jahil berarti bodoh, melakukan sesuatu tanpa pertimbangan ilmu dan akal pikiran.
Jahiliah adalah kebodohan, maksudnya : kondisi umat yang tidak mengikuti norma agama dan pertimbangan ilmu, kehidupannya didominasi oleh kehendak dan dorongan hawa nafsu, seperti kondisi bangsa Arab Quraisy sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW disebut jahiliah karena kehidupan mereka di waktu itu sesuka hatinya, memperturutkan hawa nafsu tanpa pertimbangan norma agama dan hukum.

Orang Arab Mekkah saat itu disebut jahiliah bukan karena bodoh, primitif, karena waktu itu mereka sudah mempunyai peradaban dan sistem perdagangan yang sudah maju, adanya perdagangan antar negara sebagaimana dijelaskan Allah dalam QS. Quraisy yang artinya : "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas."

Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin, dalam perjalan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya.

Di zaman modern ini bisa saja timbul kondisi jahiliah, dimana kita dapati kondisi masyarakat yang berlaku jahiliah dalam kehidupan sehari-hari, Muhammad Qutub menulis buku dengan judul Jahiliah di abad ke dua puluh, kalau sekarang jahiliah modern, jahiliah melinium dan bentuk-bentuk jahiliah lain.

Menurut pengertian jahiliah dapat dibagi 2 macam :
a. Jahiliah Ammah : yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW.
b. Jahiliah Khusus : yang terjadi di berbagai bagian dunia ini, pada kelompok masyarakat yang tidak lagi mengikuti norma agama dan lebih banyak kehidupannya dikendalikan hawa nafsu.

Diantara Sifat Yang Tercela
Bersabda Rasulullah SAW : "Tidak termasuk golongan kami barang siapa yang menampar-nampar pipi atau merobek-robek kantong baju atau menyeru dengan seruan jahiliah (dalam menghadapi musibah)." (HR. Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 10 Tahun Ke-14 03 Rabiul Akhir 1431 H / 19 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Hakekat Berdzikir

"Berdzikirlah kepada Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut. Dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al A'raf : 205)

Ayat 205 dari surat Al A'raf di atas menyuruh kita untuk berdzikir kepada Allah SWT. Berdzikir kepada Allah SWT itu maksudnya adalah agar kita selalu mengingat Allah dimanapun kita berada. Sebab apabila kita selalu ingat dengan Allah SWT, kita akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Mengingat Allah akan menjadikan diri kita sebagai hamba yang hina dina disisi-Nya.

Dan mengingat Allah merupakan keharusan bagi seorang muslim, karena seorang muslim menyadari bahwa keberadaannya di muka bumi ini adalah sebagai "hamba Allah", ia berasal dari Allah, dan akan kembali kepada Allah. (QS. Al Baqarah : 156).

Karena kita abdi Allah, tentu kita harus ingat (dzikir) kepada Allah. Ingat dengan "Subhanallah", "Alhamdulillah", "Laailahaillah", "Allahu Akbar", serta kalimat Thayyiba lainnya, tetapi juga harus dibarengi dengan ibadah. Baik itu berupa ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, maupun ibadah ghaira mahdhah seperti berbuat amal shaleh di tengah-tengah masyarakat.

Ingat dengan Allah (Dzikrullah) bagi seorang muslim yang beriman bukan hanya pada waktu tertentu, tetapi selama hayat di kandung badan. Kapanpun dan dimanapun, kita harus selalu ingat dengan Allah. Orang yang selalu ingat dengan Allah, pasti akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, dan ia akan selalu taat melaksanakan ibadah.

Di antara jalan menuju muttaqin (orang yang bertaqwa) ialah dengan selalu merasakan dirinya diawasi oleh Allah. Jika seseorang merasa dirinya diawasi oleh Allah, maka ia tidak akan mau mengerjakan perbuatan maksiat.

Mereka yang senang (hobby) bermaksiat, korupsi, maling, merampok, dan lain sebagainya itu adalah karena merasa dirinya tidak diawasi oleh Allah. Dan dia sendiri juga tidak pernah ingat dengan Allah.

Jadi makna hakiki dari "zikrullah" adalah diucapkan dengan lisan, dihayati di dalam qolbu (hati), serta diaplikasikan dalam taqarrubilallah (mendekatkan diri kepada Allah), dan dalam setiap gerak langkah kita. Akan tidak bermakna, jika kita hanya dzikir di bibir, dan hanya sewaktu-waktu, atau hanya di tempat-tempat tertentu. Setelah berdzikir dan berdo'a kita kemudian lupa lagi dengan Allah. Kita hanya secara seremonial mengingat Allah (berdo'a dan berdzikir). Habis acara, kita tidak lagi ingat dengan Allah, dan kembali melakukan hal-hal yang dilarang Allah.

Secara umum memang acara-acara ritual keagamaan itu kelihatannya baik dan menarik perhatian umat untuk mengikutinya. Lebih-lebih bila acara berbentuk seremonial itu ditayangkan di televisi.

Semuanya itu bagus, jika hal itu dilakukan guna mengembalikan hati umat untuk kembali mengingat Allah. Dan jangan pula acara-acara seperti itu dijadikan semacam ritual keagamaan. Kita memang disuruh dalam surat "Al Ahzab" ayat 41 dan 42 yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut) nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang."

Ayat diatas menyuruh orang-orang beriman untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Tetapi berdzikirnya bukan sekedar ucapan, tetapi diresapkan (mengingat Allah), maka tunaikanlah segala yang diperintahkan-Nya, dan tinggalkan serta jauhi segala yang dilarang-Nya.

Jika kita memang berdzikir kepada Allah, peliharalah selalu hubungan dengan Allah. Memelihara hubungan dengan Allah, aplikasinya adalah taat beribadah kepada-Nya, baik berupa ibadah mahdhah seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji bagi yang mampu.

Tak ada gunanya berdzikir ramai-ramai dengan suara keras, sambil berurai air mata, kalau kita masih mau berbuat maksiat, korupsi, menipu dan lain sebagainya. Untuk apa berdzikir ramai-ramai kalau shalatnya tidak beres.

Berdzikirlah dengan rendah hati, dan turuti segala perintah Allah dan tinggalkan segala yang dilarang-Nya, serta selalu memelihara hubungan dengan Allah (taqarub ilallah). Itulah dzikir menurut Al Qur'an.


Penulis : HM. Syair
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 10 Tahun Ke-14 03 Rabiul Akhir 1431 H / 19 Maret 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Senin, 07 Juni 2010

Ensiklopedi - Futhur

Futhur artinya makan, sarapan, berbuka.
Menurut syara' Futhur adalah makan atau minum untuk melepas shiyam (puasa) setelah masuk waktu Maghrib (terbenamnya matahari).

Bagi orang yang shiyam sebaiknya menyegerakan futhur (berbuka) setelah terbenamnya matahari atau masuk waktu Maghrib, sebagaimana dibiasakan Rasulullah SAW bahkan beliau pernah bersabda : "Ummatku akan selalu dalam keadaan baik selagi dia menyegerakan berbuka (futhur)".

Sebaiknya futhur dimulai dengan korma atau air atau makanan yang belum dimasak seperti buah-buahan yang manis. Setelah seorang melepas puasanya sebaiknya dia segera shalat Maghrib terlebih dahulu, kemudian baru dilanjutkan dengan makan.

Menyelenggarakan Berbuka
"Dari Sahal bin Sa'ad yang diridhai Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : manusia itu akan selalu berada dalam keadaan baik selagi dia menyegerakan berbuka shaum (puasa)". (HR. Bukhari - Muslim).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 34 Tahun Ke-13 14 Ramadhan 1430 H / 4 September 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Usaha, Do'a dan Tawakkal

Materi duniawi tidak akan datang dengan sendirinya. Diperlukan usaha atau kerja yang sungguh-sungguh, lalu disertai doa dan tawakkal kepada Allah. Tiga upaya tersebut harus dilakukan oleh manusia yang beriman.

Kerja tanpa doa adalah kesombongan dan "kekufuran" karena tidak "butuh" restu dan pertolongan Maha Pemilik Rezeki. Doa tanpa usaha adalah sia-sia atau omong-kosong. Sedangkan tawakal adalah kepasrahan hati menerima segala ketentuan Allah setelah usaha dan doa dilakukan. Jika berhasil, bersyukurlah. Tetapi jika tidak berhasil, jangan bersedih dan putus asa.

Yang harus dilakukan jika apa yang diinginkan tidak tercapai adalah mengevaluasi apa yang kurang dari usaha dan doa kita selama ini. Apabila usaha dan doa sudah maksimal, namun belum berhasil juga, hati kita harus tetap berhusnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah. Mungkin waktunya saja yang belum tepat. Apabila tiga upaya ini dapat kita penuhi, Insya Allah "keran rezeki" akan mengalir kepada kita dengan baik.

Salah satu hikmah disyariatkannya shalat Dhuha adalah jalan kemudahan usaha dan kelapangan rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang shaleh. Hal ini dapat kita lihat pada untaian doa yang dipanjatkan kepada Allah setelah shalat Dhuha yang secara spesifik memohon kemudahan rejeki.

Hal ini berkaitan dengan penjelasan Rasulullah SAW dalam Hadist Qudsi dari Abu Darda' bahwa Allah berfirman : "Wahai anak Adam, rukuklah karena Aku pada awal siang (shalat Dhuha), maka Aku akan mencukupi (kebutuhan) mu di siang hari." (Sunan Tirmidzi : 437).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 34 Tahun Ke-13 14 Ramadhan 1430 H / 4 September 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Perang melawan hawa nafsu

"Makanlah dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raaf : 31).

Banyak makna yang tersirat dari pelaksanaan ibadah puasa sebagai ibadah wajib, dalam satu tahun dilakukan satu kali. Bulan penuh barokah, bulan ampunan, bulan rahmat. Bahkan Ramadhan bulan yang lebih baik dari seribu bulan, ada juga yang menyebutnya sebagai bulan penggodokan (candradimuka), bulan pendidikan. Karena ia merasakan bagaimana pahit getirnya orang yang tidak mampu menahan perih, haus dan lapar. Bulan ini disebut juga bulan penuh Toleransi. Puasa itu adalah untuk-Ku... tegas Allah tentang nilai lebih bagi ummat Islam yang menjalankan puasa secara total.

Realitanya cenderung menjadikan puasa kita bergeser dari makna hakiki. Prilaku penyimpangan, yang seyogyanya secara ekonomis dapat dikendalikan. Justru menjadikannya berlebihan, berlebihan dalam sudut pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Kebutuhan makan dan pakaian. Bulan perang melawan hawa nafsu. Melawan hawa nafsu sebagai perang yang terbesar ujar Rasulullah menanggapi perang Badar yang dianggap sahabat perang yang terbesar. Pembuktiannya tidak saja secara individu, tetapi juga secara massal bahkan secara nusantara. Ketika menghadapi bulan Ramadhan maka pola konsumtif ini menjadi tradisi rakyat Indonesia sepanjangan.

Maka tradisi tanpa disadari (baca makna puasa mengendalikan hawa nafsu sulit untuk dicapai) sebagai suatu yang wajib yang mengalahkan dari tujuan berpuasa itu sendiri, pemerintahpun begitu aspiratif menyediakan tempat untuk menampung pedagang musiman penjual santapan tradisional (pasar bedug). Sehingga pemerintah dan masyarakat, pedagang mengeluarkan dana plus, walau memang secara makro terjadi peredaran uang yang melonjak dalam menghimpun pendapatan daerah dari sektor makanan siap saji dan siap santap. Belum lagi dari pendapatan sektor busana, dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Lihatlah betapa banyak makanan yang tersaji dalam menu, ragam, jenis dan variatif tersaji saat mau buka bersama. Bukankah ini pertanda sesuatu yang berlebihan dibandingkan dengan bulan bukan Ramadhan. Kalau saja sektor dana yang berlebihan itu menjadi tradisi untuk disodaqohkan, atau diberikan kepada kaum duafah. Maknanya akan lain sebagai suatu amal yang harus ditingkatkan memberikan sebahagiaan harta pada orang lain, justru terbalik dana yang terkuras untuk keperluan perut. Begitulah jawab iblis, untuk menaklukkan manusia sasaran utamanya dalam menggoda adalah perut. Sebab logikanya, kata iblis, jika manusia sudah terbius dengan isi perut dan kekenyangan, maka ia akan lupa dengan Allah. Karena yang terpikirkan itu hanyalah makan dan minum belaka, dan secara medis perut juga adalah sumber dari penyakit. Maka ibadah puasa secara hakiki terabaikan sama sekali terhapus oleh acara ritual tradisi budaya yang turun temurun terpolakan, mengkristal dan lestari menjadi perilaku konsumtif masyarakat yang terulang satu tahun sekali. "Janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al An'aam : 141). "Dan Janganlah kau memboroskan harta (konsumtif). Sungguh orang-orang yang konsumtif adalah saudara setan-setan. Dan setan ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Israa' : 26-27).

Karena kedalaman pengetahuan agama yang kurang, maka apa yang terpola oleh masyarakat dianggap itulah menjadi tuntunan "Kalau mereka kita ingatkan lalu mereka menjawab : Kami menjalankan apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kami terdahulu." Inilah tamsil Al Qur'an bagaimana prilaku masyarakat yang berprilaku menurut adat istiadat. Kondisi inilah yang menjadikan kita setiap bulan suci terkukung dengan prilaku berlebihan, yang sebenarnya dapat kita atasi dengan mendalami kembali makna dari Ramadhan itu sendiri. Bulan yang mengembalikan manusia untuk mengevaluasi, pencerahan, menjernihkan kembali perilaku yang keliru kepada perilaku yang sebenarnya pada kriteria kebenaran tuntunan berpuasa. Dapat memilah, mana yang tradisi mana yang tuntunan religi. Semoga kita dibukakan hati oleh Allah SWT. Dan kita mampu meraih kemenangan dalam perang melawan hawa nafsu ini.


Penulis : Gusjandjara Arni.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 34 Tahun Ke-13 14 Ramadhan 1430 H / 4 September 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Al Qur'an

Al Qur'an terambil dari kata Qaraa mashdarnya Qiraatan atau Quran, arti aslinya membaca, disini artinya Yang dibaca, sedang menurut istilah Syara', Al Qur'an ialah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, beribadah membacanya.

"Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (QS. Al Qiyamaah : 17-18)

Nama lain dari Al Qur'an adalah Al-KITAB (lihat QS. Al-Anbiya : 10) artinya yang ditulis, didalamnya pedoman hidup dari Allah yang ditulis berupa kitab, Al-FURQON (QS. AL Furqon : 1) artinya pembeda, karena Al Quran adalah pembeda antara yang hak dengan yang bathil, yang benar dengan yang salah. ADZ-DZIKIR (QS. Al Hijir : 9) artinya Al Quran itu bahan dzikir dan peringatan bagi manusia, AT-TANZIL (QS. Asy Syu'ara : 192) artinya yang diturunkan Allah. Dalam beberapa ayat Al Qur'an diberitakan Allah dengan beberapa sifat : An Nur (An Nisa' : 174) artinya cahaya, HUDA (petunjuk), SYIFA (obat), RAHMAT, MAU'IDZAH (pelajaran) (lihat QS. Yunus : 57), dan MUBARAK yang diberkahi (QS. Al An'am : 92), BUSYRA kabar gembira (QS. Al Baqarah : 97), dan NADZIRA artinya peringatan (QS. Fushilat : 3-4) nama dan sifat Al Qur'an adalah mencerminkan isinya sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.

Kemuliaan dengan Al Qur'an
"Sesungguhnya Allah meninggikan derajat/memuliakan beberapa kaum dengan kitab Al Qur'an ini, dan menghinakan dengannya kaum yang lain."

Keterangan : Berdasarkan hadist Shahih, riwayat Muslim diterima dari Umar bin Khattab yang mendengar Nabi mengucapkan hadist ini, dimana dengan berpegang dan berpedoman dengan Al Qur'an dalam mengarungi kehidupan dunia ini, akan diberi Allah kemuliaan dan kedudukan, dan banyak kaum yang diangkatkan derajatnya oleh Allah dengan Al Qur'an sebaliknya Allah akan menghinakan orang-orang atau kaum yang tidak berpegang kepada Al Quran apalagi yang memusuhinya.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 27 Tahun Ke-13 21 Rajab 1430 H / 17 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Pemimpin sebagai Pelayan Masyarakat

Pilpres 2009 baru saja usai. Masyarakat (rakyat) sudah menentukan pilihannya. Presiden (pimpinan) yang terpilih diharapkan dapat mewujudkan visi dan misi yang mereka paparkan selama kampanye. Rakyat menunggu realisasi dari janji-janji yang diumbar selama kampanye.

Bagi umat Islam, pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat. Bukan masyarakat yang melayani pemimpin.

Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya menyatakan : "Dari Ma 'qil bin Yasar dan Hasan, bahwasanya Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma 'qil bin Yasar r.a. Ketika sakit yang menyebabkan ia wafat, maka Ma 'qil berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad : Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadist yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW, aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : Tiada seorang hamba yang dipelihara rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya bau surga (melainkan tidak mendapatkan bau surga)." (HR. Bukhari).

Hadist yang disampaikan Ma'qil bin Yasar ini menginformasikan pada kita bahwa Nabi SAW telah menegaskan orang yang memegang suatu jabatan, berarti jadi pelayan masyarakat. Bila dalam tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan atau didzalimi, berarti berbuat zalim/khianat sesama manusia.

Oleh karena itu, hukuman bagi orang tersebut menurut Rasulullah adalah penghuni neraka. Bahwa setiap seorang pemimpin yang sehat akalnya, otomatis pemimpin/pengembala/pemelihara. Justru itu wajib menyelamatkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntunan ajaran Islam, sebab kalau tidak dilaksanakan akan mendapat ancaman dan siksaan Allah.


Penulis : Drs. H. Tamar Noer
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 27 Tahun Ke-13 21 Rajab 1430 H / 17 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Hikmah peristiwa Isra' Mi'raj

"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al Israa' : 1)

Banyak hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa Isra' Mi'raj. Paling tidak ada dua hikmah penting. Pertama, memantapkan aqidah umat dan kedua, keutamaan dari ibadah sholat. Dalam memantapkan aqidah, kita tidak boleh ragu-ragu dengan peristiwa itu meskipun sulit dicerna akal sehat. Kita harus meyakininya karena telah dinukilkan Allah SWT dalam firman-Nya (QS. Al Israa' : 1). Kita juga meyakini (beriman) atas kebenaran kitab suci Al Quran karena hal itu termasuk ciri orang yang beriman (QS. Al Baqarah : 2). Dengan memperingati Isra' Mi'raj akan meningkatkan nilai-nilai keimanan kita kepada kekuasaan Allah SWT.

Iman merupakan aqidah (mentauhidkan Allah SWT), meyakini kekuasaan-Nya dan mengakui keEsaan-Nya. Apabila aqidah seseorang sudah mantap ia akan mengakui hanya Allah-lah Robb-nya. Tidak ada Tuhan selain Allah (syahadatain). Ia tidak lagi menuhankan selain Dia. Tidak lagi menuhankan benda seperti keris, batu cincin, pohon kayu, atau kuburan. Ia tidak lagi menuhankan hewan, semisal burung, ikan louhan, dan sebagainya. Karena perbuatan menuhankan selain Allah termasuk syirik dan syirik merupakan dosa besar.

Orang yang aqidahnya mantap meyakini pula akan segala kekuasaan Allah, termasuk peristiwa Isra' Mi'raj. Sebagaimana firman-Nya : "Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : "Jadilah!" maka terjadilah ia." (QS. Yaasin : 82).

Hikmah kedua adalah diterimanya oleh Nabi Muhammad SAW perintah salat lima waktu langsung dari Allah SWT di Sidratul Muntaha. Dengan memperingati peristiwa Isra' Mi'raj akan menambah keyakinan kita akan pentingnya ibadah salat. Sebab ibadah-ibadah lain dan rukun Islam diterima Nabi melalui perantaraan Malaikat Jibril. Hanya perintah shalat lima waktu yang langsung diterima Nabi dari Allah SWT. Oleh sebab itu, ibadah sholat merupakan suatu keistimewaan dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.

Maka itu dalam memperingati peristiwa Isra' Mi'raj seorang muslim yang beriman akan selalu mendirikan shalat sesuai dengan tuntunan Al Qur'an dan As Sunnah. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadistnya : "Shalat adalah tiang agama. Siapa yang mendirikan sholat berarti ia telah mendirikan agama. Dan barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia telah merobohkan agama." Jadi tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan sholat. Jika ia tidak bisa melakukannya dengan berdiri, ia boleh duduk. Apabila tidak bisa duduk, boleh dengan berbaring. Dan apabila tidak bisa lagi menggerak-gerakkan organ tubuh, maka ia boleh shalat dengan isyarat mata.

Begitu pentingnya ibadah sholat. Bahkan dalam perjalanan (safar) kita boleh melakukan shalat dengan jamak (disatukan). Misal solat Dzuhur boleh digabung dengan Ashar. Salat Maghrib boleh digabung dengan Isya'. Dalam menjamak shalat boleh diqashar, seperti sholat Dzuhur dua rakaat dan shalat Ashar dua rakaat. Kecuali shalat Maghrib harus tiga rakaat. Dalam menjamak juga boleh dilakukan pada waktu Dzuhur atau Maghrib (jamak taqdim) dan boleh pula waktu sholat Ashar atau Isya' (Jamak ta'khir).

Keutamaan ibadah sholat juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam hadist Qudsyi : "Yang pertama dihitung (dihisab) manusia di hari kiamat dari amalnya adalah salat." Allah berfirman : "perhatikan olehmu (wahai malaikat) mengenai shalat hamba-Ku." Seandainya sempurna, tercatat dengan sempurna, sekiranya ada kekurangannya Tuhan berfirman : "Adakah shalat sunnatnya? Jika ada, shalat sunnatnya menyempurnakan shalat wajibnya itu." (HR. Abu Ya'la)

Berdasarkan hadist tersebut jelas bagi kita betapa pentingnya ibadah shalat. Dibeberapa hadist Rasulullah SAW juga ditegaskan bahwa shalat merupakan mi'rajnya seseorang yang beriman (Mi'raajul mukminin). Dalam shalatlah manusia berkomunikasi dengan khaliqnya. Salat juga merupakan benteng diri dari perbuatan tercela dan maksiat serta keji dan munkar. (QS. Al Ankabuut : 45).

Sebagai penutup uraian ini, mari kita jadikan peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW ini sebagai momentum membulatkan tekad untuk selalu memelihara aqidah kita karena aqidah adalah fondasi dalam beragama. Kita hanya meyakini kekuasaan Allah. Dan tidak ada Tuhan selain Dia. Mari kita juga bulatkan tekad untuk tidak lagi meninggalkan salat selama hayat asih di kandung badan. Dirikanlah shalat dan peliharalah shalat kita sebelum kita dishalatkan orang.


Penulis : H.M. Syair
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 27 Tahun Ke-13 21 Rajab 1430 H / 17 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Nifaq - Munafiq

Nifaq berarti menampakkan perbuatan zahir yang tidak sesuai dengan kata hati.
Munafiq ialah orang yang menyembunyikan kekufurannya dan menzhahirkan dengan pura-pura beriman atau orang yang menyembunyikan perusuhan dan memperlihatkan kejujuran (tapi hanya pura-pura), sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Baqarah : 8 "Di antara manusia ada yang mengatakan : Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."

Nifaq I'tiqadi disebut juga nifaq Akbar, yaitu orang yang zhahir memperlihatkan dan menyatakan Islam pada hal secara bathin dan kata hatinya kafir, untuk orang-orang yang seperti ini, dijanjikan Allah dasar neraka : "Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka."

Diantara sifat orang munafiq I'tiqadi : membenci Rasulullah dan ajaran Islam, merasa senang dalam hatinya melihat umat Islam gagal dan tidak senang kalau ummat Islam berhasil.

Nifaq Amali disebut juga nifaq Ashgar yaitu orang Islam yang mengerjakan sifat orang munafiq, seperti berbicara suka berbohong, berjanji tidak dipenuhi, dan diberi amanah di khianati, mereka tetap dalam Islam tetapi terjerumus ke dalam perbuatan dosa, untuk itu hendak mereka secepatnya menyadari dan istighfar serta bertaubat kepada Allah.

"Bersabda Rasulullah SAW : Empat hal barang siapa yang ada padanya maka dia menjadi orang munafiq, dan barang siapa yang ada pada dirinya satu bagian darinya maka pada dirinya ada sebagian dari munafiq hingga dia meninggalkannya, apabila dia diberi amanah dia khianati, dan apabila berbicara dia bohong, dan apabila berjanji dia tinggalkan, dan apabila berdebat/berhadapan dengan orang lain dia cepat berbuat jahat." (HR. Bukhari - Muslim)


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 26 Tahun Ke-13 17 Rajab 1430 H / 10 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Empat diantara resiko Judi dan Khamar

"Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." (QS. Al Maidah : 91).

1. Menimbulkan Permusuhan
Minum khamar dan berjudi adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Syaitan selalu membujuk rayu manusia untuk melakukan perjudian dan minum khamar, dan ini akan dirasakan oleh para penjudi walaupun dia telah kalah, masih ingin terus main, dia tidak pernah jera dari perjudian selagi dia punya uang atau barang yang bisa dipertaruhkannya dan pada saat kehabisan uang dan barang, akhirnya dia kalah, setelah itu bisa terjadi perselisihan dan berlanjut pada permusuhan bahkan perkelahian dan pembunuhan. Begitu juga dengan minum khamar setelah seseorang mabuk, biasanya keadaannya tidak terkendali dan bisa saja melakukan kerusakan, kebiasaan preman bila akan melakukan sesuatu kejahatan dia terlebih dahulu mabuk, di waktu dalam keadaan tidak sadar akan melakukan kejahatan dan permusuhan pada lawannya.

2. Menimbulkan Kemarahan
Syaitan itu selalu berupaya agar kemarahan terjadi pada manusia, kemarahan disebabkan perjudian dan minuman khamar/minuman keras/narkoba dan segala bentuk minuman atau suntikan dan isapan yang menyebabkan seseorang mabuk serta terganggu akal pikirannya, hal ini bisa dibuktikan berapa banyak kasus kriminal dan kejahatan yang terjadi karena kemarahan dan permusuhan yang disebabkan judi dan khamar ini. Allah SWT mengharamkan keduanya karena bahayanya sangat besar terhadap kehidupan umat manusia dan lingkungan, sedangkan Islam ini merupakan rahmatan lil'alamain.

3. Memalingkan orang dari mengingat Allah
"Dan memalingkan kamu dari dzikir kepada Allah". Orang yang mabuk dan sibuk berjudi, saat itu dirinya dikuasai oleh iblis syaithan laknatullah sehingga orang itu menjadi lupa kepada Allah, dan otaknya serta pikirannya hanya kepada dunia, kemenangan dan khayalan yang tidak akan terbukti, padahal kehidupan seorang beriman tidak boleh terlepas dari mengingat Allah dalam keadaan tegak, berdiri, dan berbaring, sehat atau sakit, sibuk atau dalam keadaan senggang. Sebagaimana kita dapatkan pedoman yang diajarkan Nabi SAW ungkapan dzikir dalam keadaan apapun dan dimanapun.

4. Memalingkan orang dan shalat.
"...dan memalingkan dari shalat..." Orang yang mabuk dan sibuk berjudi disamping lupa kepada Allah dan pikirannya terganggu serta khayalannya hanya pada kesenangan dunia bagaikan fatamorgana yang tidak akan pernah terbukti. Keadaan ini akan menyebabkan dia juga lupa mengerjakan kewajiban shalat, apalagi waktu berjudi dan mabuk seseorang itu bukan saja terperdaya oleh syaitan, tapi dirinya sudah dikuasai oleh syaitan dan kita ketahui bahwa syeitan selalu berupaya memalingkan orang dari ingat kepada Allah dan memalingkan seseorang dari shalat, hingga orang itu sesat, lalu dia akan biarkan dan berlepas diri.

Maukah Kamu Berhenti?
"...maka maukah kamu berhenti?" Suatu pertanyaan yang tegas dari Allah kepada umat manusia, pertanyaan seperti ini maksudnya, tidak dapat tidak, kamu harus berhenti dari minum khamar dan berjudi, jauhilah sejauh-jauhnya, bagi siapa yang pernah terjerumus harus bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ingat, judi dan khamar bahayanya sangatlah besar, bagi yang melakukannya dia akan menanggung akibatnya, yaitu kerugian dunia, akhirat, didunia kerugian harta, kesehatan badan, serta permusuhan dan kebencian bahkan perkelahian dan pembunuhan, hubungannya dengan sesama manusia menjadi rusak, sedangkan diakhirat mereka sudah disiapkan tempat di neraka dan siksaan yang tidak terhingga. "Na 'udubillahi indzalika".


Penulis : H. Nofrizal Nawawi, L.c
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 26 Tahun Ke-13 17 Rajab 1430 H / 10 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Keutamaan Shalat

"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) sholat Subuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh) Malaikat." (QS. Al Israa' : 78)

Kehadiran bulan Rajab dalam penanggalan Hijriyah umat Islam, terutama di Indonesia selalu memperingati peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Besar Muhammad SAW. Berbagai kegiatan yang bernuansa Islami dilaksanakan untuk merayakan peristiwa penting itu. Diharapkan dengan memperingati peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW, kita akan dapat mengambil hikmahnya.

Ada dua hikmah penting yang dapat dipetik dari peristiwa yang merupakan "mukjizat" pada diri Nabi akhir zaman itu. Pertama, peristiwa luar biasa itu akan membuat kita semakin percaya akan kebesaran Allah SWT. Bagi seorang muslim, peristiwa itu harus diyakini kebenarannya, sebab sebagian orang masih bimbang, ragu-ragu, dan bahkan ada yang tidak percaya dengan apa yang dialami Nabi penutup itu. Oleh sebab itu, setiap kita memperingati peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW maka keimanan kita semakin mantap. Keyakinan kita akan kekuasaan Allah semakin kuat.

Meyakini kebesaran dan kekuasaan Allah SWT adalah aqidah. Dan aqidah merupakan komitmen seorang muslim dalam mentauhidkan Allah. Seorang muslim yang memiliki akidah yang kuat, tidak akan tergoda oleh godaan-godaan apapun. Rasulullah SAW 13 tahun lamanya untuk menanamkan aqidah itu, saat ia diangkat menjadi Rasul.

Perintah Sholat
Hikmah kedua dari peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi adalah perintah shalat yang diterima langsung oleh Nabi di Sidratul Muntaha. Dan lima rukun Islam, maka shalat yang langsung diterima Nabi, sedangkan rukun-rukun Islam yang lain seperti zakat, puasa, dan Ibadah haji, diterima oleh Nabi melalui Malaikat Jibril. Itulah keistimewaan shalat. Kecuali itu, peristiwa Isra' Mi'raj juga merupakan mukjizat yang harus diyakini oleh setiap muslim yang beriman.

Begitu pentingnya ibadah sholat ini, tak ada satu alasanpun bagi seorang muslim untuk meninggalkan shalat, kecuali bagi seorang muslimah yang ada halangan setiap bulan. Tidak mampu salat dengan berdiri boleh duduk, tidak mampu duduk, boleh berbaring, dan jika tidak mampu lagi menggerak-gerakkan anggota tubuh, boleh dengan isyarat mata.

"Shalat adalah tiang agama, barang siapa mendirikan sholat, maka ia telah mendirikan agama. Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah merobohkan agama". (Al Hadist). Rasulullah SAW sendiri menyatakan bahwa shalat itu adalah "mi'rajnya orang mukmin". Di saat shalatlah hamba Allah akan dapat berkomunikasi dengan Khaliqnya.

Beberapa hadist menyebutkan bahwa ibadah yang pertama ditanya atau dihisab pada hari akhirat nanti adalah ibadah shalat. Banyak dinyatakan pula, tidak sah ibadah-ibadah yang dilakukan seseorang, jika ia tidak mendirikan sholat.

Sebelum disyariatkan shalat lima waktu, Rasulullah SAW melakukan shalat dua rakaat pagi dan dua rakaat sore hari, sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Ibrahim as. Setelah Isra' Mi'raj, pagi harinya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah SAW mengajarkan cara shalat dan menjelaskan waktu-waktunya. Tepatlah kiranya bila momentum peringatan Isra' Mi'raj itu kita jadikan untuk mengevaluir ibadah-ibadah kita, terutama ibadah Shalat. Sudahkah kita shalat sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya? Kalau belum, mari kita sesuaikan dan kita sempurnakan. Jangan tinggalkan shalat selama hayat masih di kandung badan. Mari laksanakan shalat, sebelum kita dishalatkan orang lain.


Penulis : Ibnu Syairy
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 26 Tahun Ke-13 17 Rajab 1430 H / 10 Juli 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Aqiqah

Aqiqah menurut bahasa artinya penyembelihan untuk kelahiran anak.
Sedangkan menurut syara' Aqiqah adalah menyembelih hewan kambing untuk kelahiran anak setelah hari ketujuh.

Diantara Hadist yang menjelaskan bahwa aqiqah itu disunnah dalam Islam : "Dari Samurai, dari Nabi SAW dia bersabda : Setiap anak yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR. Ashabussunah (Abu Daud, Nasa', Ibnuy Majah dan Tarmidzi) dan Ahmad).

Aqiqah hukumnya sunnat muakkad, Rasulullah SAW mengaqiqahkan Hasan dan Husein dan begitu juga pada sahabat nabi mengaqiqahkan anak-anak mereka, sedangkan menurut Daud Zhahiri aqiqah hukumnya wajib.

Aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran atau pada minggu kedua (hari ke-14) atau minggu ketiga (hari ke-21) berdasarkan hadist Riwayat Al Baihaqi. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah boleh dilaksanakan bila ada kelapangan.

Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing, boleh satu ekor kalau kondisi tidak mengizinkan untuk dua ekor kambing, sebagaimana Rasulullah SAW mengaqiqahkan Hasan Husein masing-masing dengan seekor kambing. Untuk anak perempuan aqiqahnya dengan seekor kambing. Daging aqiqah dimanfaatkan untuk dimakan bersama dan untuk fakir miskin serta boleh dimakan oleh keluarga anak yang diaqiqahkan, sebagaimana halnya daging qurban.

Aqiqah Anak Laki-laki 2 Ekor Kambing
"Dari Aisyah yang diridhoi Allah dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan mereka mengaqiqahkan anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan anak perempuan seekor kambing." (Hadist Shahih Riwayat Tarmidzi).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-13 4 Rajab 1430 H / 29 Mei 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ijama'

Ijma' adalah kesepakatan para Ulama.

Unsur-unsur Ijma' :
a. Adanya kesepakatan.
b. Kesepakatan dari berbagai tempat.
c. Kesepakatan itu nyata.
d. Kesepakatan merupakan sebagian.

Pembagian Ijma'
a. Ijma' Qouli (sharih) artinya ucapan/terang-terangan.
b. Ijma' Fi'li (sukuti) artinya perbuatan/diam-diam.

Otoritas/Kehujjahan Ijma'
a. Sebagian besar/kebanyakan.
b. Kemungkinan tegasnya Ijma'.

Kenyataan Hasil Ijma'
Hasil Ijma' mempunyai kekuatan hukum/syar'iyah.

Contoh Ijma'
a. Hadist Rosulullah SAW tentang niat; Para Mujtahid (Ulama) di berbagai tempat sepakat bahwa niat itu berada dalam hati.

b. Tentang Perkawinan : Seorang suami wajib menafkahi isterinya. Para ulama sepakat bahwa nafkah disesuaikan dengan kemampuan suaminya.

c. Tentang Mahar : para ulama sepakat bahwa mahar adalah sesuatu yang berharga sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.

d. Tentang Miqat (dalam ibadah Hajji) : ulama sepakat bahwa miqatjama'ah haji (khusus gelombang II dst) boleh dimulai dari King Abdul Aziz.


Penulis : Dr. H. Romli SA, M.Ag.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-13 4 Rajab 1430 H / 29 Mei 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Watak yang merusak kehidupan

"Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras." (QS. Al Baqarah : 204).

Dalam surat Al Baqarah ayat 204 diatas, Allah menyatakan tentang watak-watak manusia yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Paling tidak ada empat macam watak yang merusak itu, yakni :

1. Menanam Tebu di bibir.
Watak yang pertama ialah selalu bermulut manis. Apa yang diucapkannya sangat mempesona, kata-katanya mengagumkan, membuat orang yang mendengarnya "terpukau" dan tertarik bahwa ia adalah orang yang baik hati, yang senantiasa berbuat baik, mendahulukan kepentingan masyarakat dari kepentingan pribadinya. Tetapi pada hakikatnya adalah seperti kata fameo "lain di bibir lain di hati". Menurut istilah agama orang berwatak yang sedemikian disebut "munafik".

2. Berkata selalu menyebut nama Allah.
Watak yang kedua ini berkata atas nama Allah untuk memperkuat ucapannya, sanggup bersumpah "Demi Allah". Apa yang saya ucapkan ini didengar dan diketahui oleh Allah sehingga bertambah mantaplah kepercayaan orang lain kepadanya. Di tinjau dari sudut kejiwaan, orang yang selalu merasa perlu membawa-bawa atas nama Allah untuk memperkuat suatu keterangan yang diberikannya, padahal ia sudah mempunyai pra rasa (Voorgevcel), dia sendiri sudah merasakan bahwa apa yang diucapkannya itu tidak dapat dipercayai. Bahkan hal itu adalah satu ciri dari tidak percaya dengan diri sendiri.

Bagaimanakah seseorang hendak mencoba menyakinkan orang lain, sedang yang bersangkutan tidak percaya kepada dirinya sendiri. Mereka yang suka mempermudah-mudahkan menyebut nama Allah untuk kepentingan pribadi, golongan, kelompok, partai dan lain lain adalah suatu penipuan diri sendiri, hal ini dinyatakan Allah dala QS. Al Baqarah : 9, yang artinya sebagai berikut : "Mereka hendak menipu Allah dan menipu orang-orang yang beriman. Mereka (sebenarnya) adalah menipu diri sendiri, sedang mereka tidak sadar."

3. Merusak sawah ladang
Dari watak yang pertama dan kedua tersebut, maka mereka tidak segan-segannya melakukan kerusakan. Pada ayat berikutnya kalimat "Wayuhlikal hartsa wannasla" (merusak sawah ladang dan ternak). Ini merupakan kata kata Methapora (kiasan) yaitu merusak sawah ladang dan ternak, pada hakikatnya mengadakan kerusakan dimuka bumi mulai dari perkataan yang dusta sampai perilaku kekejaman atau perbuatan zalim.

Sebagian ahli tafsir, menjelaskan arti Al Hartsa (sawah ladang) adalah wanita, An Nasla (binatang ternak) adalah anak-anak. Pengertian yang terkandung didalamnya ialah kerusakan kehormatan kaum wanita yang dijadikan permainan dan anak-anak dibiarkan berbuat brutal karena kemerosotan akhlak. Dan kalimat "Wa iza tawalla" (apabila berpaling), maksudnya apabila mereka yang berwatak seperti ini memegang kekuasaan akan terjadi tindak kekejaman, merampas hak rakyat, akhirnya akan terjadi pertumpahan darah karena rakyat yang sering disakiti akan mengadakan perlawanan.

4. Tidak mau ditegur atau dinasehati
Watak yang keempat ini termasuk golongan orang yang tinggi hati, tidak mau ditegur atau dinasehati, tidak merasa bersalah walaupun mereka terang-terangan melakukan kesalahan. Lanjutan ayat tersebut "Wa iza qi la lahut taqillaha akhoztnul 'izzatu bil itsmi" Apabila dikatakan kepada mereka; Bertaqwalah kepada Allah (sebagai nasihat) maka (timbul) kesombongannya yang membawanya berbuat dosa.

Kesimpulannya yang merusak tatanan hidup bermasyarakat adalah orang yang mempunyai watak watak, menanamkan tebu di bibir alias munafik, selalu menyebut nama Allah padahal dusta, menjadi pejabat menindas rakyat, tinggi hati, tidak menerima nasihat kebenaran. Jadi apabila Allah menjelaskan dalam QS. Ar Rum : 41 "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut oleh karena tangan manusia. Supaya mereka merasakan ujian (dari) Allah sebagian dari mereka (sebab-akibat) dari perbuatan manusia, agar mereka kembali (kejalan yang benar)." Dengan kata lain bagi mereka yang tidak berwatak yang empat macam tersebut, tidak termasuk yang membuat kerusakan.


Penulis : H.A. Suhaimi Usman
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-13 4 Rajab 1430 H / 29 Mei 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Hibah

Hibah menurut bahasa berarti melepaskan, pemberian.
Menurut syara', hibah adalah pemberian hak milik kepada orang lain dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.

Hibah hukumnya jaiz (boleh), keikhlasan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain akan menjadi nilai amal shaleh dan halal bagi yang diberi sesuatu menerimanya, kalau sekiranya pemberian seseorang itu ikhlas tanpa ada tujuan dan keinginan khusus dibalik pemberian-pemberian itu. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menerima hibah dan hadiah dari Raja Mesir, kaisar Persi dan lain-lain. Boleh bagi seorang muslim memberi sesuatu (Hibah) kepada non-Muslim dengan harapan mereka akan tertarik dengan Islam.

Sahnya hibah itu dengan ijab (ungkapan pemberian) baik secara langsung atau tidak dan qobul (ungkapan menerima) dan diisyaratkan kepada si pemberi, sudah baligh, berakal, bukan terpaksa, benda yang diberikan halal dan tidak terlarang, serta memberikan dengan ikhlas, tidak karena mengharapkan balasan yang akan diterima, juga disyaratkan benda yang diberikan sudah ada waktu pemberian.

Tidak boleh meminta kembali yang sudah dihibahkan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya, sebagaimana dijelaskan Rosulullah SAW dalam beberapa hadistnya.

"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang diridhai Allah, Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian (hibah) kemudian dia kembali menariknya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, dan perumpamaan orang yang memberi pemberian kemudian dia kembali (menariknya) seperti anjing makan kekenyangan, apabila dia kenyang dia muntahkan kemudian dia kembali memakan muntahnya." (Hadist Riwayat Abu Daud, An Nasa'i dan Turmidzi, dia berkata hadist hasan shahih).


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 24 Tahun Ke-13 18 Rajab 1430 H / 12 Juni 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Bencana itu karena ulah manusia

"Jika kami hendak binasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada mereka yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah). Tapi mereka lakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan kami). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al Israa' : 16).

Sumber hajat manusia berupa alam, tanaman, hutan, buah-buahan dan air tanpa terduga oleh pikiran manusia ia menjadi malapetaka. Tidak lagi menjadi sumber kekayaan, justru dalam pikiran sesaat petaka itu menyengsarakan. Kejadian alam yang datang tiba-tiba.

Manusia serta merta menyalahkan kodrat seakan pupusnya kasih sayang Allah pada hambanya. Tiba-tiba dalam ketiduran yang pulas, air bah menggusur perkampungan, menenggelamkan seluruh harta benda. Mayat bergelimpangan disana sini, orang tua bercerai berai, anak menjadi yatim piatu, suami menjadi duda, isteri menjadi janda. Laut menghempaskan kapal dengan segala isinya, gunung meletus mengubur orang disekitarnya, angin puting beliung menumbangkan pepohonan. "Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau dia meniupkan angin keras yang membawa batu-batu kecil, dikembalikannya kamu ke laut sekali lagi, lalu dia meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkannya kamu disebabkan kekafiranmu dan kamu tidak akan mendapat seorang perlindungan bagi kamu." (QS. Al Israa' : 68).

Barulah dalam suasana yang menyakitkan ini saling bersahutan memohon pertolongan Allah dalam jerit zikir dan taubat secara massal, menghiba ampun dan pertolongan. "Apabila ditimpa musibah, bahaya berdoa kepada Kami, berbaring, duduk, berdiri. Setelah bahaya itu sirna, kembali pada jalan yang sesat. Seolah-olah tak pernah berdoa menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas, memandang baik apa yang mereka perbuat." (QS. Yunus : 12).

Semua kejadian itu adalah awal dimana Allah Maha Kasih kepada umatnya, agar jangan berpaling dari "Mensyukuri nikmat-Nya yang diberikan. Dimana manusia lalai dengan segala yang dimiliki, tanpa merujuk pada perbuatan yang dilakukan, senantiasa masih merasa kekurangan. Belum puas dan tak mencukupi. Sehingga tatanan hajat hidup yang diraih dikendalikan oleh intelektual nalar manusia, kebenaran atas kesepakatan orang banyak" yang mengakibatkan orang lain terzalimi. Untuk segera proyek direalisasi, diserahkan uang tali kasih. (baca korupsi, suap). Kepentingan lahan perumahan, rawa dan sungai ditimbun, karena perkembangan kota, hutan dan gunung digusur. Karena keinginan suatu posisi, mempertahankan prestasi, kolusi anak isteri menjadi nominasi. Belum lagi soal santapan dan hidangan, untuk mengejar omset, makanan dicampur lemak babi, formalin atau alat pengawet yang bisa merenggut nyawa manusia. Cerai, nikah, rujuk, hanyalah sebuah media jalan pintas publikasi ketenaran diri. Untuk menjaga harga diri dan kehamilan yang tidak sah, aborsi adalah jalan keluarnya. Dan kebanggaan yang luar biasa, jika suatu kampung dapat menaklukkan kampung yang lain dalam perang mempertahankan tanah sejengkal.

Peringatan Allah
Perbuatan ketimpangan prilaku yang sesat dipertanyakan "Nikmat apalagi yang Aku berikan masih kamu merasa masih kekurangan". Peringatan Allah ini sangat jelas, jika manusia menyadari bagaimana nikmat yang diberikan Allah itu tanpa ia mengharap balas jasa. Bagaimana penciptaan langit dan bumi serta segala isinya diperuntukkan buat hajat hidup orang banyak seluas-luasnya. Nikmatnya lidah kita merasakan seribu cita rasa santapan, jika lidah itu sendiri tak berfungsi, betapa getir dan pahitnya menyantap makanan. Ini baru soal lidah belum organ tubuh yang lainnya.

Tapi tetap saja manusia mengedepankan intelektualitasnya sebagai pengendali menikmati alam, dengan mencabik-cabik unsur hubungan manusia sesama manusia, hubungan manusia dengan Allah, dari hubungan manusia dengan Allah dan alam. "Andaikata kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (QS. Al Mu'minun : 71). "Dan kami coba mereka dengan nikmat yang baik dan bencana yang buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran."

Karenanya sekecil apapun nikmat yang diberikan oleh Allah hendaknya mengedepankan syukur, serta menjaga kelestarian alam, menjaga ketiga hubungan alam, manusia dan Allah dengan tidak merubah habitatnya sesuai dengan potensi hajat hidup orang banyak. Kepentingan sesaat harus dikubur mendahulukan kepentingan ummat.


Penulis : Gusdjanjara Arni
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 24 Tahun Ke-13 18 Rajab 1430 H / 12 Juni 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Qiyas

Dalam praktek penetap hukum Islam, kita tidak bisa menjauhkan diri dari ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan lewat ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh secara maksimal yang didasari oleh perangkat ilmu para Ulama untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang belum ada ketentuan hukumnya.

Dalam berijtihad ini tentunya diperlukan syarat-syarat khusus bagi para Mujtahid diantaranya :
1. Hafal seluruh ayat-ayat Al Qur'an.
2. Minimal hafal 1000 hadist.
3. Memahami Bahasa Arab dengan sempurna.
4. Memahami sumber-sumber hukum Islam.
5. Menggunakan sumber-sumber sebagai literatur.

1. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa artinya mengukur, atau mencari persamaan. Sedangkan secara syar'i yang digunakan oleh para Mujtahid adalah menghubungkan satu persoalan yang tidak ada hukumnya dengan satu persoalan yang sudah ada dalam Al Qur'an dan sunnah, karena antara keduanya terdapat persamaan 'illat(tautan hukum).

Langkah-langkah dalam berijtihad adalah : pertama, kalau tidak ada nash yang disebutkan dalam Al Qur'an, baru menggunakan hadist. Kedua, kalau tidak ada dalam hadist, baru menggunakan Ijtihad (Bir Ra'yu). Sedangkan orang yang berijtihad di sebut Mujtahid.

2. Rukun/Unsur Qiyas
Adapun unsur-unsur qiyas adalah sebagai berikut :
a. Harus ada tempat dalam menyandarkan qiyas yang disebut pokok, yaitu Al Qur'an dan Hadist.
b. Harus ada persoalan baru yang belum ada hukumnya yang disebut cabang (al-Furu').
c. Ada hukum asal.
d. Ada 'illat (sebab).

3. Perlakuan Qiyas Sebagai Hukum
Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak semua persoalan hukum dapat diqiyaskan seperti hukum yang berkaitan dengan tauhid, ibadah maghdah, jinayah, kifarat dan lain-lain, bahkan persoalan hukum yang sudah jelas hukumnya dalam Al Qur'an dan Hadist tidak boleh diqiyaskan.

4. Kedudukan Hukum Qiyas
Kedudukan hukum dan hasil qiyas dapat diamalkan dalam syariat Islam, seperti :
a. Berzakat dengan menggunakan padi.
b. Mengharamkan minuman yang dapat memabukkan.

Contoh Penetapan Hukum Qiyas :
a. Minuman Haram
Al Qur'an mengharamkan khamar karena memabukkan (sedikit maupun banyak). Sedangkan minuman-minuman yang bermerk lain seperti : wiski, brendi, topi miring, dll, juga haram karena dapat memabukkan. Penetapan hukum minuman tersebut diqiyaskan dengan khamar.

b. Tentang Zakat
Dalam hadist menyebutkan barang/benda yang dizakati berupa gandum. Sedangkan padi merupakan hasil qiyas dari gandum, karena gandum dan padi sama-sama makanan pokok daerah tempat masing-masing.

Penulis : Dr. H. Romli, SA, M. Ag.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 24 Tahun Ke-13 18 Rajab 1430 H / 12 Juni 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Masalah Wudlu

Mengusap sepatu
Hal yang penting juga diketahui yang berkaitan dengan wudlu ini ialah mengusap sepatu
yang disebut dengan istilah "mashul khuffain", meskipun diantara kita pernah atau tidak pernah melakukannya. Mengusap sepatu adalah cara wudluk yang menggunakan/memakai khuf, jenis sepatu yang menutupi kedua mata kaki.

Bagi orang yang memakai jenis sepatu yang menutupi kedua mata kaki ini berwudluknya cukup dengan mengusap (mashul khuffain). Caranya ialah dengan mengusap bagian atas dan bawah sepatu tersebut. Mengusap sepatu ini hanya berlaku bagi orang yang tetap memakai sepatunya secara terus menerus (dengan tidak dibuka) bagi musafir berlaku selama tiga hari dan bagi muqim berlaku satu hari.

Tujuannya adalah memberikan kemudahan bagi orang yang memakai khuff, karena memang buka-pasang sepatu setiap kali akan berwudlu memang sedikit akan merepotkan. Apalagi bila musafir yang mengadakan perjalanan jauh tentu memakan waktu, terutama pada masa lalu (masa Nabi), khuf (sepatu) adalah pakai tali. Untuk kondisi sekarang maskhul khuf (mengusap sepatu) ini dapat pula dilakukan, lebih-lebih pegawai di kantor yang sehari-hari bekerja di kantor tetap memakai sepatu. Rasulullah bersabda : "Rasulullah memerintahkan kami mengusap kedua sepatu apabila kami memasukkannya dalam keadaan suci (berwudlu), tiga hari jika kami dalam perjalanan dan satu hari jika kami tidak bepergian. Kami tidak membuka sepatu baik ketika buang air besar maupun buang air kecil dan demikian pula ketika kami tidur. Kami tidak membukanya kecuali lantaran janabat." (HR. Akhmad dan Ibn Khuzaimah).

"Bahwasanya Nabi SAW mengusap sepatunya bagian atas dan bagian bawahnya." (HR. Turmuzi).

Adapun yang membatalkannya adalah sama seperti yang berlaku bagi wuduk, karena ia bagian dari wuduk. Dan juga termasuk membuka sepatu tersebut, karena syaratnya harus dipakai secara terus-menerus.


Penulis : Prof. Dr. H. Romli SA, MAg.
Dikutip dari :Buletin Cahaya, Nomor 14 Tahun Ke-14 24 Rabiul Akhir 1431 H / 9 April 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Wajib atau Fardhu

Wajib/Fardhu artinya : mesti, tetap tuntutan. Artinya mesti, telah dituliskan, tetap.
Wajib/Fardhu ialah : sesuatu yang mesti dilaksanakan, diberi pahala orang yang melakukannya dan akan berdosa sekiranya ditinggalkan.

Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan apa yang diwajibkan padanya dan tidak boleh melalaikan atau meninggalkan apa yang diwajibkan. Sesuatu yang diwajibkan oleh Allah dan Rosul merupakan ibadah yang akan memberi dampak yang positif untuk kehidupan manusia yang melaksanakannya, tidak ada suatu yang wajib akan memberikan nilai negatif atau merusak orang yang melakukannya.

Kita bisa mengetahui sesuatu itu wajib sesuai dengan penjelasan ayat Al Qur'an atau Hadist Rasulullah SAW. Ulama faqih membagi wajib/fardlu itu menjadi dua macam :
1. Fardlu A'in, sesuatu yang dituntut melaksanakannya bagi setiap individu muslim yang mukallaf (baligh dan berakal), akan berdosa bila meninggalkannya, berpahala jika dia laksanakan, misalnya sholat, puasa.
2. Fardlu Kifayah, sesuatu yang dituntut melaksanakan atas kelompok, sekiranya dilakukan oleh sebagian atau seorang maka kewajibannya telah terbayarkan, tapi sekiranya tidak ada yang melakukannya, yang mengetahui akan berdosa, misalnya menjawab salam, menyelenggarakan jenazah (memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkannya).

Hijrah zaman sekarang
Dari Ibnu Abbas yang diridhoi Allah dia berkata : "telah bersabda Rosulullah SAW : tidak ada lagi hijrah (pindah dari Mekkah) setelah Fathu Makkah (pembukaan kota Mekkah) dan tetapi yang ada jihad dan niat." (HR. Bukhari - Muslim).


Dikutip dari :Buletin Cahaya, Nomor 14 Tahun Ke-14 24 Rabiul Akhir 1431 H / 9 April 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Bertobat

Manusia adalah makhluk Allah yang lemah (dhaif). Tak luput dari berbuat salah dan dosa. Kadang-kadang juga terjerumus kepada berbuat dosa besar. Itulah dalam tuntunan agama, kita disuruh untuk selalu "istighfar" atau minta ampun kepada Allah. Nabi Muhammad SAW sendiri orang yang "maksum" (tak berdosa), tidak kurang dari 70 kali "beristighfar".

Orang-orang yang berdosa dapat dikategorikan dua yaitu :
1. Orang-orang kafir, yakni orang-orang yang tidak beriman, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, serta terhadap agama yang dibawa oleh Rosulullah SAW. Selanjutnya orang-orang kafir dikelompokkan lagi yaitu :
a. Ahli kitab, yakni golongan Yahudi dan Nasrani.
b. Kaum munafik, yakni orang-orang yang mengaku beriman padahal hatinya mendustakan.
c. Orang-orang musyrik Quraisy dan atau kaum-kaum lainnya yang menyembah berhala (termasuk juga penganut ateisme serta para penganut agama-agama lain selain Islam).

2. Orang-orang yang berdosa dan banyak melakukan dosa, terutama dosa besar, sehingga timbangan amal buruknya lebih besar dari timbangan amal baiknya. Kelompok ini berasal dari kalangan kaum Muslimin.

Orang-orang yang mati dalam kekafiran kepada Allah SWT akan memperoleh balasan Allah SWT berupa kehidupan yang kekal di neraka denga segala siksaannya. Sebanyak apapun perbuatan baik yang dilakukan orang-orang kafir selama hidup di dunia, maka kekafirannya kepada Allah SWT tetap akan mengantarkanya menuju neraka. Mengenai mereka Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal didalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya makhluk." (QS. Al Bayyinah : 6).

Dan firma-Nya mengenai orang-orang munafik : "Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahannam. Mereka kekal didalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka dan Allah melaknat mereka dan bagi mereka azab yang kekal." (QS. At Taubah : 68).

Apabila orang-orang kafir bertobat sebelum kematian merenggut hidupnya, kemudian beriman dan beramal saleh, maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Mereka akan digolongkan-Nya ke dalam barisan orang-orang yang beriman.

Sementara itu, orang-orang dari kalangan kaum mukminin yang mati dengan membawa dosa-dosanya (tidak bertobat), akan mendapatkan siksa neraka pula. Namun, bagi mereka siksa tersebut tidaklah kekal. Siksa tersebut hanya berlangsung sementara waktu saja, sesuai dengan kadar dosa yang telah mereka lakukan selama di dunia. Jika telah habis dosanya, maka mereka pun akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke Surga.

Ketentuan ini berlaku karena orang-orang mukmin masih tergolong sebagai ahli tauhid, yakni orang-orang yang mengakui ajaran tauhid, La ilaha ilallah (tiada sesembahan yang hak kecuali Allah). Pandangan ini merupakan padangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang didasarkan kepada hadist-hadist Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda : "Akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang (di dunia) mengucapkan La ilaha ilallahu dan di dalam hatinya terdapat timbangan kebaikan walau sebesar gandum. Dan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang (di dunia) mengucapkan La ilaha ilallahu dan didalam hatinya terdapat kebaikan walau sebesar biji, dan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang (di dunia) mengucapkan La ilaha ilallahu dan di dalam hatinya terdapat timbangan kebaikan walau sebesar atom." (HR. Bukhari-Muslim).

Syarat bertobat menurut Imam Ghazali ialah menyesali perbuatan dosa yang dilakukannya. Berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dan memperbanyak ibadah serta amal sholeh.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari :Buletin Cahaya, Nomor 20 Tahun Ke-14 07 Jumadil Akhir 1431 H / 21 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Hakikat Berdoa

"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka katakanlah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku. Karena itu mereka hendaklah mengabulkan (permintaan-Ku) dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapat petunjuk." (QS. Al Baqarah : 186)

Berdoa merupakan alat komunikasi antara manusia dengan Allah. Ada juga ulama yang menyebutnya, doa itu merupakan hot line antara manusia sebagai hamba, Allah sebagai Khaliq. Ia adalah hubungan hamba mencintai Khaliqnya dan Khaliq yang mencintai hambanya. Bila manusia bisa dihubungkan dari jarak jauh dengan alat-alat komunikasi tanpa kawat seperti radio, televisi, teleks, faksimili dan lain sebagainya, kenapa tak mungkin manusia berhubungan dengan Sang Penciptanya. Karena doa itu menurut Rasulullah SAW adalah ibadah, tentu akan merugilah orang yang tidak pernah berdoa kepada Allah SWT. Apakah ada orang yang mengaku sebagai penganut agama Islam yang tidak berdoa? Banyak kita lihat dan bahkan kita ingatkan, komentarnya seperti itu tadi. Tak relevanlah, sibuklah, atau untuk apa berdoa karena Tuhan telah menentukan nasib seseorang. Mereka bukan orang-orang yang beriman, dan selalu merugi serta tidak taat kepada perintah Allah.

Seorang ulama besar di abad ini Syech Nashiruddin dalam bukunya berjudul "Syarh Al'qidah At-Thahawiyah", memberikan uraian tentang manfaat doa.
1. Doa adalah suatu perbuatan yang diperintahkan Allah SWT, maka siapa saja yang suka berdoa termasuk orang-orang yang taat kepada Allah. Barangsiapa yang terkabul doanya, maka dia akan mendapatkan dua kebaikan, yaitu terkabulnya doa, serta pahala dari berdoa itu sendiri. Yang tidak terkabul, akan mendapat pahala dari ibadahnya itu.
2. Orang yang suka beroda, ia akan menjadi manusia yang rendah hati. Terkabulnya doa ia bersyukur, tak terkabul dia tidak putus asa dan tak kufur.
3. Orang yang suka berdoa, selalu yakin dengan janji Allah, dan segala sesuatunya tergantung kepada Allah. Lambat atau cepat, Allah akan mengabulkan permohonannya.

Oleh sebab itu, tak ada alasan bagi orang yang mengatakan bahwa doa itu tak berfaedah. Tak pula beralasan, doa bertentangan dengan masalah takdir. Ketahuilah, semua itu adalah ketentuan dari Allah SWT.

Doa dan ikhtiar
Firman Allah dalam Quran surat Al Baqarah : 186 yang kita kutip di atas menyatakan bahwa Allah akan mengabulkan permohonan setiap orang yang berdoa, selama si pemohon memenuhi syarat yang diperlukan bagi sebuah permohonan. Syarat-syaratnya ialah taat akan perintah Allah seperti ibadah wajib, dan shalat lima waktu dalam sehari semalam, berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat bila sudah patut berzakat, menunaikan ibadah haji bila telah mampu. Suka berbuat baik kepada orang lain. Sebab banyak juga kita melihat orang-orang yang gemar berdoa tapi ia tidak pernah, bahkan mereka sering memanggil orang sekampung untuk berdoa, demi keselamatannya dengan mengundang makan-makan segala. Padahal ia sendiri tidak pernah melakukan ibadah kepada Allah. Mereka yang berdoa seperti ini sudah jelas tidak memenuhi persyaratan yang dikehendaki Allah.

Lalu ada pula orang yang hanya berdoa saja, tanpa mau berikhtia (berusaha), ini juga tidak benar menurut ajaran Islam.

Islam secara jelas menuntut umatnya bekerja sambil berdoa. Doa dan ikhtiar harus beriringan. Islam tidak menghendaki umatnya menjadi pemalas. Islam tidak menyuruh kita hanya berdoa saja tanpa bekerja. Seorang muslim harus melaksanakannya secara berbarengan, yakni bekerja dan berdoa. Banyak juga orang yang hanya berdoa bila mendapat kesusahan. Tapi begitu terlepas dari kesusahan, ia melupakan Allah, dan kembali bergelimang dengan perbuatan maksiat.

Dan tak sedikit pula yang jadi manusia musyrik dan sesat, karena ia berdoa atau meminta selain kepada Allah. Ada yang meminta kepada kuburan yang dikeramatkan, kayu yang dikeramatkan, keris yang dikeramatkan, dan lain sebagainya. Ini jelas-jelas perbuatan syirik, atau menyekutukan Allah. Betapa banyak mereka yang percaya akan "pertolongan" batu cincin, jimat, burung, dan benda-benda yang mereka anggap sakti.

Seorang muslim yang beriman, hanya berdoa atau meminta kepada Allah saja. Tak ada yang lebih berkuasa dan yang paling menentukan di dunia ini, kecuali Allah. Oleh sebab itu, kepada-Nya saja kita berdoa.


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari :Buletin Cahaya, Nomor 14 Tahun Ke-14 24 Rabiul Akhir 1431 H / 9 April 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Al Luqathah

Luqathah menurut bahasa berarti menemukan sesuatu, dalam istilah syara' Al-Luqathah ialah : Sesuatu benda (harta) yang ditemukan karena hilang dan tidak diketahui pemiliknya.

Menemukan sesuatu di jalan atau di suatu tempat dan tidak diketahui siapa pemiliknya disebut Luqathah, bagi yang menemukan sunnat hukumnya mengamankannya, tapi sekiranya benda itu ditemukan di tempat yang diperkirakan aman, dan pemiliknya bisa menemukan kembali, dan berdasarkan pertimbangannya aman barang itu kalau dibiarkan, tapi sekiranya dikuatirkan akan diambil oleh tangan jahil dan orang yang tidak bertanggung jawab, maka wajib baginya untuk menyelamatkan dengan tujuan akan mengembalikan kepada pemiliknya jika ditemukan, dan itu akan menjadi ibadah baginya dengan menyimpan secara baik.

Bagi yang menemukan ada 3 hal yang harus dilakukan :
1. Menjaga barang yang ditemukan.
2. Mengumumkan ditempat umum atau menginformasikan kepada pihak berwenang.
3. Setelah waktu berlalu satu tahun, tapi tidak ada pemiliknya yang datang, maka boleh baginya tetap menyimpan atau menginfaqkan pada jalan Allah atau boleh juga dimanfaatkannya dengan tujuan kebaikan.

Seikiranya barang yang ditemukan nilainya sedikit dan tidak terlalu berat bagi pemiliknya atau barang itu makanan yang cepat rusak, cukup diumumkan dalam waktu singkat, jika tidak ada yang mengambil boleh dinfaqkan atau dimanfaatkan.


Mengumumkan barang temuan dalam masa satu tahun.
Dari Suwaid bin Ghoflah dia berkata : "Aku bertemu dengan Aus bin Ka'ab dia berkata : "Aku menemukan satu bungkusan didalamnya ada uang 100 dinar, lalu aku datang kepada Nabi SAW dan dia bersabda : "Umumkanlah dalam masa satu tahun, maka aku umumkan, maka tidak aku temukan pemiliknya, lalu aku datang kepada nabi 3 kali, dan dia bersabda : "Peliharalah bungkusnya tali pengikatnya (Tandanya) jika datang pemiliknya kembalikan, jika tidak maka kamu boleh memanfaatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim).


Dikutip dari :Buletin Cahaya, Nomor 20 Tahun Ke-14 07 Jumadil Akhir 1431 H / 21 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Mengaplikasikan Taqwa

Kata takwa mudah sekali mengucapkannya. Para juru dakwah, pejabat, selalu menghiasi pidatonya dengan kata takwa. Misalnya "Saudara-saudara, marilah kita bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Namun mengamalkan takwa itu sulit. Kalaulah umat Islam mampu mengaplikasikan takwa dalam dirinya, tentu negeri ini akan aman dan makmur. Takwa menurut syar'i ialah takut meninggalkan yang diperintahkan Allah, dan takut melakukan hal-hal yang dilarang Allah.


Pengalaman takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan manusia sehari-hari merupakan kendali tingkah laku dan amal perbuatannya. Orang yang tidak mempunyai kendali dalam dirinya dapat dengan mudah kehilangan kontol. Ia mudah tergoda menurunkan hawa nafsunya melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti antara lain, tidak jujur, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, suka merugikan atau mempersulit orang lain. Orang yang benar-benar bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa secara built in telah diperlengkapi dirinya dengan kontrol. Seseorang yang benar-benar takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa tindak-tanduk dan amal perbuatannya akan terkontrol oelh ketakwaannya. Orang yang benar-benar takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yakin bahwa amal perbuatan, tingkah laku maupun tindak-tanduknya tidak ada yang luput dari pengawasan atau kontol Allah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dengan keyakinannya itu amal perbuatan dan tingkah lakunya akan terkendalikan. Meskipun tidak ada orang yang mengetahui atau mengawasi, senantiasa ia akan menghindari tingkah laku dan perbuatan yang tercela dan berusaha melakukan yang terpuji, bermanfaat atau produktif seperti yang disuruh-Nya, memelihara diri dari noda dan dosa.

Allah Tuhan Yang Maha Esa tidak hanya mengetahui tingkah laku dan amal perbuatan seseorang akan tetapi juga mengetahui apa yang menjadi bisikan hatinya. Dia menyertai manusia, kapan dan di mana ia berada.

Penerapan sikap mental Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kegiatan administrasi dapat merupakan pengawasan atau kontrol (kendali) yang otomatis. Apabila seseorang pegawai, orang yang mengelola administrasi atau orang-orang yang berhubungan dengan kegiatan administrasi itu mampu menanamkan rasa Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam dirinya masing-masing, lalu menerapkannya dalam kegiatan administrasi, maka berarti mereka itu secara built in telah melengkapi dirinya dengan masing-masing dengan sarana pengawasan, kontrol atau kendali. Allah berfirman dalam Surat Al A'raaf : 201 "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya."


Penulis : Emsya Dalimo.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Ensiklopedi - Al Wahyu

Wahyu menurut bahasa berarti pembicaraan tersembunyi, isyarat yang cepat.
Sedankan menurut pengertian umum, wahyu adalah ungkapan tersembunyi cepat datang secara khusus terhadap orang yang dituju dan tersembunyi dari orang lain.
Wahyu Allah maksudnya firman Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi Allah.

Allah berfirman dalam surat Al Yunus : 2 "Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seseorang laki-laki di antara mereka : "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka." Orang-orang kafir berkata : "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata"".

Allah menciptakan manusia dengan sempurna dan diberi akal serta hawa nafsu, pada dasarnya akal yang murni dapat mempertimbangkan yang benar dengan yang salah, antara kebenaran dan kebathilan, tapi kadang kala akal dipengaruhi oleh nafsu, maka akal-akal menyimpang dari kebenaran, atas kasih sayang Allah. Dia menurunkan kebenaran hakiki yaitu wahyu.

Wahyu itu diturunkan kepada orang yang dipilih-Nya, kalau wahyu itu hanya untuk dirinya saja dia dinamakan nabi, kalau wahyu yang diberikan itu harus disampaikan kepada orang lain, maka yang menerima wahyu itu adalah Rasul, Nabi dan Rasul yang terakhir penerima wahyu adalah Muhammad SAW, setelah Rosulullah SAW meninggal dunia, tidak ada lagi yang diberi wahyu oleh Allah. Karena wahyu-Nya dalam Al Qur'an sudah lengkap dan cukup sebagai pedoman hidup manusia sampai akhir zaman sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Maidah : 3 "Pada hari ini(haji wada) telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhoi Islam jadi agama bagimu...".


Keadaan Rosulullah dalam menerima wahyu
Berkata Aisyah : "Sesungguhnya Aku melihatnya (Rosulullah) waktu turun kepadanya wahyu pada hari yang sangat dingin, maka putus darinya dan sesungguhnya keningnya memancar keringat."

Keterangan : Berdasarkan Riwayat Shahih dari Bukhari, yang diterima dari Aisyah Ummul Mukminin Istri Rosulullah SAW yang melihat Rosulullah dalam keadaan menerima wahyu, padahal hari sangat dingin, tetapi keringat memancar dari keningnya. Hal ini menunjukkan bagaimana susahnya dan perhatian Rosulullah SAW sewaktu menerima wahyu itu.


Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Pentingnya ilmu pengetahuan

Allah berfirman dalam QS. Al Isra:36 yang berbunyi "Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.".

Dalam islam, belajar adalah kewajiban dan harus dilaksanakan sejak dari buaian hingga akhir hayat, ilmu yang dipelajari meliputi ilmu umum dan ilmu agama, tidak memisahkan diantara keduanya. Dengan belajar, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan, dan dengan memiliki ilmu pengetahuan maka ia akan memiliki kedudukan berbeda dengan masyarakat awam, setidak-tidaknya dengan ilmu itu ia dapat menjaga dirinya dengan baik.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW mengatakan bahwa : "Barang siapa ingin bahagia di dunia maka ia harus berilmu pengetahuan, barangsiapa ingin bahagia di akherat harus memiliki ilmu pengetahuan dan barang siapa ingin bahagia dunia akherat harus memiliki ilmu pengetahuan." Hal ini berarti tanpa ilmu tidak mungkin kebahagiaan dunia, akherat atau keduanya dapat kita raih.

Ada suatu gambaran nyata dan sederhana yang pernah terjadi. Ada seseorang berusia dewasa sekitar 45 tahun. Ia tidak pernah mengecap dunia pendidikan, kalau pun pernah hanya untuk beberapa saat saja, sehingga membaca dan berhitung pun ia tidak bisa, namun ia tahu jenis dan nilai mata uang (rupiah). Suatu saat ia ingin bekerja, tapi ia bingung, apa yang mesti ia lakukan. Jangankan ijazah keahlian pun tidak ia miliki.

Akhirnya ia memutuskan untuk berjualan makanan kecil keliling kampung. Ketika ada pembeli yang memanggilnya, ia pun menghampiri dan memperlihatkan makanan yang ia jual dan nilai atau harga makanan itu. Berapa jumlah makanan yang diambil dan berapa rupiah yang harus dibayar pembeli ia tidak tahu. Ia hanya mengiyakan dengan hitungan si pembeli. Jika si pembeli jujur maka ia akan menerima uang sesuai dengan jumlah makanan yang diambil si pembeli, tetapi bila si pembeli curang, maka kerugian yang ia dapatkan. Tidak mengherankan apabila hampir setiap hari ia menderita kerugian.

Itulah gambaran sulitnya hidup dalam mencari nafkah ketika seseorang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Dalam kepahaman ilmu, setiap manusia memiliki kemampuan dan kualifikasi ilmu pengetahuan/keahlian yang berbeda, boleh jadi seseorang memiliki kemampuan/keahlian dalam beberapa bidang tertentu. Namun mutlak mereka harus bekerja sesuai dengan keahlian/ilmu yang mereka miliki. Kemampuan/keahlian itu hanya akan didapat setelah seseorang melalui proses belajar yang terus menerus, baik melalui pendidikan formal, informal atau belajar sendiri (otodidak).

Ada juga pengalaman yang bila didengar cukup menggelitik. Ada seseorang yang berprofesi sebagai guru, suatu saat datanglah seorang tamu ke sekolah yang membagi-bagikan formulir untuk menjadi anggota suatu organisasi. Untuk menarik minat para guru, paparan profil organisasi itu pun disampaikan. Semua teman-temannya tertarik, kemudian mengisi dan mengebalikan formulir tersebut. Hanya dia dan salah satu temannya tidak mengisi formulir tersebut, ketika sang teman menanyakan mengapa formulir itu belum juga diisi. Ia menjawab singkat, bahwa "untuk menjadi anggota suatu organisasi, maka mereka harus mengetahui dan memahami Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi itu".

Beberapa bulan kemudian, semua teman-temannya yang mengisi/mengembalikan formulir tersebut ditangkap aparat, karena bergabung dengan organisasi terlarang. Ia pun selamat dan kemudian diangkat menjadi PNS. Pengalaman si Bapak membuka wawasan, jangan suka mengikuti sesuatu jika kita tidak memiliki ilmu tentang hal itu.

Dalam Islam, yang sangat vital adalah bahwa seseorang yang ada didalamnya harus memahami dengan baik qoidah-qoidah/aturan-aturan Islam secara Komprehensif. Dalam tingkatan sederhana, ketika membaca Al Qur'an seseorang harus paham qoidah tajwid dan segi makhrajul huruf, panjang pendek, tipis tebal bacaan dan tempat-tempat washal serta wakofnya. Pada saat seseorang akan menyampaikan ayat-ayat Allah SWT pun, maka ia setidak-tidaknya harus membaca asbabun nuzul ayat itu atau mungkin harus membaca tafsir ayat, sehingga ia mengerti sebab-sebab dan makna dalam ayat itu.

Begitu juga disaat seseorang ingin menyampaikan/mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SWT, sikap kehati-hatian harus betul-betul ditanamkan. Banyaknya hadist yang ada dan tidak adanya kemampuan kebanyakan kita untuk memilah, mana hadist ahad, hasan, mutawati maupun dhoif, mengharuskan kita lebih menggunakan hadist-hadist shohih yang telah dikaji oleh ulama-ulama hadist. Kalau kita tidak memperhatikan hal itu, bisa jadi kita akan terjebak menggunakan hadist-hadist dhoif atau cerita-cerita Israiliyat.

Dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah hal mutlak untuk meminimalkan kita dari jalan yang salah, karena dengan belajar kita akan bisa memisahkan mana yang benar dan mana yang salah. Dan dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki kita dapat meraih kesenangan duniawi dan ukhrawi. Amin.


Penulis : Miftahul Huda.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...

Zikir dan Fikir Harus Sejalan

Allah berfirman dalam Al Qur'an Surat Ar Ra'd : 28 "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

Zikir adalah bahasa Arab yang telah teradopsi kedalam bahasa Indonesia dengan makna mengucapkan (menyebut) nama Allah. Sedangkan secara hakiki adalah mengingat Allah dalam setiap gerak hidup seorang mukmin. Pikir adalah akal yang bisa juga dikonotasikan dengan ilmu (pengetahuan). Hidup manusia akan sempurna(bahagia) jika zikir dan pikir itu melekat pada dirinya. Tetapi zikir adalah selalu mengingat Allah, sehingga takut berbuat yang dilarang-Nya dan taat melaksanakan segala perintah-Nya.

Setiap manusia yang sehat selalu berharap agar hidupnya selalu dalam keadaan bahagia. Bahkan lebih lengkap lagi harapan seorang muslim, yakni selalu mendambakan bahagia di dunia dan di akhirat. Bahagia atau tidaknya seseorang sering tercermin dari penampilannya dan sikapnya di tengah-tengah masyarakat.

Ukuran kebahagiaan tidak sama. Ada orang yang memiliki harta benda yang banyak, punya kedudukan, anak istri dan lain sebagainya, tetapi belum tentu ia menikmati kebahagiaan. Banyak contoh peristiwa tentang orang kaya yang tidak bahagia. Bahkan tak sedikit yang putus asa, menempuh jalan yang sesat. Itulah sebabnya agama Islam menghendaki umatnya agar dapat hidup bahagia lahir bathin.

Manusia yang hidup di dunia ini harus berfikir dan berzikir. Yang dimaksud dengan berfikir adalah menjalankan akal, punya ilmu dan kepintaran. Seseorang muslim harus memiliki ilmu dan keterampilan, agar bisa mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang disediakan Tuhan.

Dijadikan-Nya langit dan bumi serta segala isinya, agar manusia berfikir dan berupaya untuk mengolahnya. Untuk itu perlu ilmu. Mustahil tanpa ilmu orang akan mengusahakan sesuatu. Mereka yang memilih profesi sebagai pegawai harus punya ilmu, yang bergerak sebagai pedagang harus punya ilmu dagang. Begitu pula yang jadi petani dan lain sebagainya.

Ayat pertama dari Al Qur'an yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dimulai dengan perintah "membaca". Kita simak bunyi firman Allah itu : "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." QS Al Alaq : 1-5

Allah telah menggariskan, bahwa dengan tulis baca, manusia akan memiliki ilmu. Manusia yang berilmu akan punya wawasan dan pikiran yang luas. Tuhan Yang Maha Kuasa berulangkali di dalam Al Qur'an mengingatkan manusia untuk menggunakan pikirannya dalam menempuh kehidupan dunianya.

Diantara kutipan Al Qur'an tentang seruan Allah itu berbunyi : "Apakah kamu tidak memikirkannya." Maksudnya, manusia hendaknya menggunakan pikirannya untuk mengolah nikmat Allah yang begitu banyak.

Untuk itulah seorang muslim harus punya ilmu pengetahuan yang banyak. Seorang muslim harus menuntut ilmu setinggi-tingginya. "Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat", kata Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya.

Dengan ilmu manusia akan mencapai kebahagiaan di dunia. Dengan ilmu manusia juga akan mencapai kebahagiaan di akhirat, dan dengan ilmu pula manusia akan mencapai kedua-duanya.

Namun demikian, disamping memiliki ilmu pengetahuan serta menguasai teknologi, manusia juga dituntut untuk selalu "ingat" dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Yang dimaksud ingat (dzikir) kepada Allah bukan hanya sekedar menyebut nama atau memuji-Nya. Tetapi yang dimaksud dengan ingat (dzikir) dengan Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ilmu serta pikiran yang dimilikinya akan membuatnya bertambah dekat dengan Allah. Kepintaran, keahlian serta kecakapan yang dimilikinya, selain dipergunakan untuk mencari kehidupan duniawi juga mempersiapkan diri untuk kehidupan ukhrawi. Nikmat kekayaan, kekuasaan, serta keluarga yang dimilikinya, juga digunakan untuk jihad fisabilillah. Jihad disini bukan berarti perang, tetapi amal saleh, infaq di jalan Allah, seperti membangun rumah peribadatan, pendidikan, serta menyantuni fakir miskin.

Dimanapun, kapanpun, kita disuruh selalu ingat dengan Allah. Ditempat kerja, diperjalanan, di rumah, kita harus ingat kepada Allah. Ingat (zikir) dengan Allah harus pula diikuti dengan ingat akan perintah-Nya. Jika kita sedang di kantor, di pasar, di tengah sawah, dalam perjalanan tiba waktu sholat, maka segeralah sholat. Jadi bukan hanya sekedar ingat saja.

Kecuali itu, dengan selalu ingat kepada Allah, manusia akan terhindar dari segala perbuatan tidak baik. Kalau ia seorang pedagang, ia tidak mau berdusta, mengurangi timbangan atau takaran. Kalau ia seorang pegawai negeri, pejabat, atau aparatur pemerintah, jika ia ingat akan Allah, maka ia tidak akan mau korupsi, menyeleweng, menyalahgunakan jabatan dan lain sebagainya.


Penulis : Ibnu Syairy.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 20 Tahun Ke-14 07 Jumadil Akhir 1431 H / 21 Mei 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).
Selengkapnya...