Senin, 14 Juni 2010

Iman dan ujian

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan "Kami telah beriman", padahal mereka tidak di uji?" (QS. Al Ankabuut : 2).

Asbabun nuzulnya (sebab sebab) turunnya ayat ini adalah sebagai berikut : ketika seorang laki-laki bernama Muhya (bekas budak Umar bin Khattab) yang telah memerdekakannya dan masuk Islam dan turut bertempur dalam perang Badar. Ia terkena panah musuh sehingga tewas. Dialah korban pertama dalam perang Badar. Setelah berita itu sampai pada ibu bapak dan istrinya, maka mereka sangat berduka cita. Tatkala berita disampaikan kepada Rasulullah, maka secara spontan keluar ucapan beliau Muhya adalah pelopor kaum (syuhada) mati syahid. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Muhya adalah orang pertama masuk Syurga.

Pengertian ayat di tersebut (AHASIBANNAS) menurut pramasastra bahasa Arab dinamakan ISTIFHAM INKARI. Yaitu dirumuskan dalam suatu bentuk pernyataan yang didalamnya sudah ada jawaban yang pasti. Dengan rumusan yang tidak memakai pernyataan bahwa ayat itu mengandung pengertian "Sudah Pasti" bahwa manusia itu tidak akan dibiarkan begitu saja mengatakan kami telah beriman, padahal mereka tidak di uji. Kalimat-kalimat yang disusun dengan memakai "istifham inkari" banyak dijumpai di dalam Al Qur'an. Hal ini adalah menunjukkan keindahan bahasa Al Qur'an.

Hukum kepastian itu yang biasa juga disebut Sunatullah, telah terbukti dalam kehidupan bangsa-bangsa terdahulu. Tujuan pokok dari ujian yang diberikan Allah adalah untuk mengetahui mana yan benar dan mana yang salah. Misalnya iman yang benar itu mereka rela berkorban dengan tenaga, fikiran dan harta benda, bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun seperti para pahlawan-pahlawan perang Badar dan lain-lain. Ada pula yang pura-pura beriman, mereka mengatakan seperti orang yang beriman, padahal kenyataannya menghalang-halangi orang berbuat baik. Misalnya mempengaruhi orang yang suka berinfak, sedekah atau zakat. Untuk apa membantu orang yang tidak berjasa kepada kita, kita susah payah mencari uang, lantas akan diberikan cuma-cuma kepada orang lain, padahal mereka belum tentu akan menolong kita. Ada lagi manusia yang terombang-ambing, kemana angin bertiup (pucuk aru). Orang yang seperti ini kualifikasi Prof. Mahmud Saltut, mereka shalat, puasa, berdiri dalam barisan yang benar. Tetapi apabila situasi berobah, tantangan imannya dirasakan berat, maka tidak segan-segannya mereka pindah perahu.

Sikap orang yang seperti ini dapat diumpamakan seperti mentalitas sebagian yang dapat dilihat dalam sejarah revolusi Indonesia. Di zaman penjajahan mereka lebih Belanda dari Belanda yang sebenarnya. Di zaman Jepang mereka menepuk dada seperti pahlawan Asia untuk bangsa Asia, dan memaki-maki Belanda. Datang Proklamasi Kemerdekaan, maka iapun tampil sebagai pejuang Republik. Ketika rezim demokrasi terpimpin memberi angin kepada Komunis, merekapun berangkul-rangkulan pula dengan gagasan NASAKOM (Kerjasama Nasionalis, Islam dan Komunis). Tatkala kekuatan itu tumbang dan kemudian muncul ORDE BARU maka dia pula lagi meloncat sebagai pahlawan penyelamat, merasa diri ORBA dan ORBA yang sebenarnya.

Laksana Pohon Besar
Dari tiga macam sifat dan sikap manusia tersebut dapat kita jadikan pelajaran untuk memantapkan keimanan dan keyakinan kita dalam mengahadapi ujian iman. Gambaran orang-orang yang benar imannya itu dinyatakan Allah dalam Al Quran : "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu Tuhan kami (Robbunallah) kemudian mereka berpendirian teguh, maka Malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) : "Jangan kamu takut dan jangan kamu berduka cita dan terimalah berita gembira memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepada kamu."Kami (kata Allah) menjadi pelindung kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat". (QS. Fushshilat : 30-31).


Contoh lain pendirian orang yang beriman itu bagaikan sebatang pohon yang besar yang dinyatakan dalam QS. Ibrahim : 24-45 : "Tidakkah engkau lihat bagaimana Tuhan membuat suatu perumpamaan suatu kalimat Thoyyibah (ialah iman) laksana sebuah pohon yang besar, uratnya teguh (akarnya menghujam ke bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Menghasilkan makanan (buah) setiap masa dengan izin Tuhan."

Orang yang beriman itu besar manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saling tolong menolong dengan tidak membedakan ras dan suku, dalam hal kemanusiaan, sosial masyarakat yang dibalut dengan akhlakul karimah.


Penulis : H.A. Suhaimi Usman.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 52 Tahun Ke-13 22 Muharram 1431 H / 8 Januari 2010 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar