Senin, 07 Juni 2010

Bencana itu karena ulah manusia

"Jika kami hendak binasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada mereka yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah). Tapi mereka lakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan kami). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al Israa' : 16).

Sumber hajat manusia berupa alam, tanaman, hutan, buah-buahan dan air tanpa terduga oleh pikiran manusia ia menjadi malapetaka. Tidak lagi menjadi sumber kekayaan, justru dalam pikiran sesaat petaka itu menyengsarakan. Kejadian alam yang datang tiba-tiba.

Manusia serta merta menyalahkan kodrat seakan pupusnya kasih sayang Allah pada hambanya. Tiba-tiba dalam ketiduran yang pulas, air bah menggusur perkampungan, menenggelamkan seluruh harta benda. Mayat bergelimpangan disana sini, orang tua bercerai berai, anak menjadi yatim piatu, suami menjadi duda, isteri menjadi janda. Laut menghempaskan kapal dengan segala isinya, gunung meletus mengubur orang disekitarnya, angin puting beliung menumbangkan pepohonan. "Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu atau dia meniupkan angin keras yang membawa batu-batu kecil, dikembalikannya kamu ke laut sekali lagi, lalu dia meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkannya kamu disebabkan kekafiranmu dan kamu tidak akan mendapat seorang perlindungan bagi kamu." (QS. Al Israa' : 68).

Barulah dalam suasana yang menyakitkan ini saling bersahutan memohon pertolongan Allah dalam jerit zikir dan taubat secara massal, menghiba ampun dan pertolongan. "Apabila ditimpa musibah, bahaya berdoa kepada Kami, berbaring, duduk, berdiri. Setelah bahaya itu sirna, kembali pada jalan yang sesat. Seolah-olah tak pernah berdoa menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas, memandang baik apa yang mereka perbuat." (QS. Yunus : 12).

Semua kejadian itu adalah awal dimana Allah Maha Kasih kepada umatnya, agar jangan berpaling dari "Mensyukuri nikmat-Nya yang diberikan. Dimana manusia lalai dengan segala yang dimiliki, tanpa merujuk pada perbuatan yang dilakukan, senantiasa masih merasa kekurangan. Belum puas dan tak mencukupi. Sehingga tatanan hajat hidup yang diraih dikendalikan oleh intelektual nalar manusia, kebenaran atas kesepakatan orang banyak" yang mengakibatkan orang lain terzalimi. Untuk segera proyek direalisasi, diserahkan uang tali kasih. (baca korupsi, suap). Kepentingan lahan perumahan, rawa dan sungai ditimbun, karena perkembangan kota, hutan dan gunung digusur. Karena keinginan suatu posisi, mempertahankan prestasi, kolusi anak isteri menjadi nominasi. Belum lagi soal santapan dan hidangan, untuk mengejar omset, makanan dicampur lemak babi, formalin atau alat pengawet yang bisa merenggut nyawa manusia. Cerai, nikah, rujuk, hanyalah sebuah media jalan pintas publikasi ketenaran diri. Untuk menjaga harga diri dan kehamilan yang tidak sah, aborsi adalah jalan keluarnya. Dan kebanggaan yang luar biasa, jika suatu kampung dapat menaklukkan kampung yang lain dalam perang mempertahankan tanah sejengkal.

Peringatan Allah
Perbuatan ketimpangan prilaku yang sesat dipertanyakan "Nikmat apalagi yang Aku berikan masih kamu merasa masih kekurangan". Peringatan Allah ini sangat jelas, jika manusia menyadari bagaimana nikmat yang diberikan Allah itu tanpa ia mengharap balas jasa. Bagaimana penciptaan langit dan bumi serta segala isinya diperuntukkan buat hajat hidup orang banyak seluas-luasnya. Nikmatnya lidah kita merasakan seribu cita rasa santapan, jika lidah itu sendiri tak berfungsi, betapa getir dan pahitnya menyantap makanan. Ini baru soal lidah belum organ tubuh yang lainnya.

Tapi tetap saja manusia mengedepankan intelektualitasnya sebagai pengendali menikmati alam, dengan mencabik-cabik unsur hubungan manusia sesama manusia, hubungan manusia dengan Allah, dari hubungan manusia dengan Allah dan alam. "Andaikata kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (QS. Al Mu'minun : 71). "Dan kami coba mereka dengan nikmat yang baik dan bencana yang buruk, agar mereka kembali kepada kebenaran."

Karenanya sekecil apapun nikmat yang diberikan oleh Allah hendaknya mengedepankan syukur, serta menjaga kelestarian alam, menjaga ketiga hubungan alam, manusia dan Allah dengan tidak merubah habitatnya sesuai dengan potensi hajat hidup orang banyak. Kepentingan sesaat harus dikubur mendahulukan kepentingan ummat.


Penulis : Gusdjanjara Arni
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 24 Tahun Ke-13 18 Rajab 1430 H / 12 Juni 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar