Senin, 07 Juni 2010

Perang melawan hawa nafsu

"Makanlah dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raaf : 31).

Banyak makna yang tersirat dari pelaksanaan ibadah puasa sebagai ibadah wajib, dalam satu tahun dilakukan satu kali. Bulan penuh barokah, bulan ampunan, bulan rahmat. Bahkan Ramadhan bulan yang lebih baik dari seribu bulan, ada juga yang menyebutnya sebagai bulan penggodokan (candradimuka), bulan pendidikan. Karena ia merasakan bagaimana pahit getirnya orang yang tidak mampu menahan perih, haus dan lapar. Bulan ini disebut juga bulan penuh Toleransi. Puasa itu adalah untuk-Ku... tegas Allah tentang nilai lebih bagi ummat Islam yang menjalankan puasa secara total.

Realitanya cenderung menjadikan puasa kita bergeser dari makna hakiki. Prilaku penyimpangan, yang seyogyanya secara ekonomis dapat dikendalikan. Justru menjadikannya berlebihan, berlebihan dalam sudut pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Kebutuhan makan dan pakaian. Bulan perang melawan hawa nafsu. Melawan hawa nafsu sebagai perang yang terbesar ujar Rasulullah menanggapi perang Badar yang dianggap sahabat perang yang terbesar. Pembuktiannya tidak saja secara individu, tetapi juga secara massal bahkan secara nusantara. Ketika menghadapi bulan Ramadhan maka pola konsumtif ini menjadi tradisi rakyat Indonesia sepanjangan.

Maka tradisi tanpa disadari (baca makna puasa mengendalikan hawa nafsu sulit untuk dicapai) sebagai suatu yang wajib yang mengalahkan dari tujuan berpuasa itu sendiri, pemerintahpun begitu aspiratif menyediakan tempat untuk menampung pedagang musiman penjual santapan tradisional (pasar bedug). Sehingga pemerintah dan masyarakat, pedagang mengeluarkan dana plus, walau memang secara makro terjadi peredaran uang yang melonjak dalam menghimpun pendapatan daerah dari sektor makanan siap saji dan siap santap. Belum lagi dari pendapatan sektor busana, dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Lihatlah betapa banyak makanan yang tersaji dalam menu, ragam, jenis dan variatif tersaji saat mau buka bersama. Bukankah ini pertanda sesuatu yang berlebihan dibandingkan dengan bulan bukan Ramadhan. Kalau saja sektor dana yang berlebihan itu menjadi tradisi untuk disodaqohkan, atau diberikan kepada kaum duafah. Maknanya akan lain sebagai suatu amal yang harus ditingkatkan memberikan sebahagiaan harta pada orang lain, justru terbalik dana yang terkuras untuk keperluan perut. Begitulah jawab iblis, untuk menaklukkan manusia sasaran utamanya dalam menggoda adalah perut. Sebab logikanya, kata iblis, jika manusia sudah terbius dengan isi perut dan kekenyangan, maka ia akan lupa dengan Allah. Karena yang terpikirkan itu hanyalah makan dan minum belaka, dan secara medis perut juga adalah sumber dari penyakit. Maka ibadah puasa secara hakiki terabaikan sama sekali terhapus oleh acara ritual tradisi budaya yang turun temurun terpolakan, mengkristal dan lestari menjadi perilaku konsumtif masyarakat yang terulang satu tahun sekali. "Janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al An'aam : 141). "Dan Janganlah kau memboroskan harta (konsumtif). Sungguh orang-orang yang konsumtif adalah saudara setan-setan. Dan setan ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Israa' : 26-27).

Karena kedalaman pengetahuan agama yang kurang, maka apa yang terpola oleh masyarakat dianggap itulah menjadi tuntunan "Kalau mereka kita ingatkan lalu mereka menjawab : Kami menjalankan apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kami terdahulu." Inilah tamsil Al Qur'an bagaimana prilaku masyarakat yang berprilaku menurut adat istiadat. Kondisi inilah yang menjadikan kita setiap bulan suci terkukung dengan prilaku berlebihan, yang sebenarnya dapat kita atasi dengan mendalami kembali makna dari Ramadhan itu sendiri. Bulan yang mengembalikan manusia untuk mengevaluasi, pencerahan, menjernihkan kembali perilaku yang keliru kepada perilaku yang sebenarnya pada kriteria kebenaran tuntunan berpuasa. Dapat memilah, mana yang tradisi mana yang tuntunan religi. Semoga kita dibukakan hati oleh Allah SWT. Dan kita mampu meraih kemenangan dalam perang melawan hawa nafsu ini.


Penulis : Gusjandjara Arni.
Dikutip dari : Buletin Cahaya, Nomor 34 Tahun Ke-13 14 Ramadhan 1430 H / 4 September 2009 M.
Diterbitkan oleh : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan (PWM SumSel).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar